Proyeksi Tata Kelola Industri Hulu Migas
Kolom

Proyeksi Tata Kelola Industri Hulu Migas

Investor tentunya mengharapkan adanya kebebasan dalam melaksanakan kegiatan bisnisnya dan dapat membukukan economic interest, selain tentu saja mendapat keuntungan dari usaha yang dilakukannya.

Bacaan 2 Menit
Nugroho Eko Priamoko (kiri) dan Willy Farianto (kanan). Foto: Koleksi Penulis
Nugroho Eko Priamoko (kiri) dan Willy Farianto (kanan). Foto: Koleksi Penulis
Dalam Program Legislasi Nasional tercantum RUU Perubahan atas UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Namun hingga masa bakti DPR RI periode 2009 – 2014 telah berakhir, RUU tersebut belum sempat dibahas dan masih berstatus proses harmonisasi di Baleg.[i] Revisi UU Migas mendesak untuk dilakukan pasca putusan MK No 36/PUU-X/2012 tanggal 13 November 2013, guna mengakhiri ketidakpastian tata kelola industri migas –khususnya industri hulu, dan menciptakan iklim yang kondusif untuk pencapaian target produksi migas nasional. Sebagaimana diketahui, Putusan MK No 36/PUU-X/2012 menyatakan beberapa materi muatan pasal UU Migas bertentangan dengan konstitusi sehingga tidak mengikat.

Putusan MK mengamanatkan perubahan yang cukup radikal dalam tata kelola industri hulu migas nasional. Ada dua hal penting yang patut kita catat. Pertama adalah redefinisi konsep penguasaan negara atas mineral minyak dan gas bumi dan yang kedua adalah pola hubungan antara negara dengan kontraktor pelaksana kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas.

Redefinisi Konsep Penguasaan Negara
Terkait redefinisi mengenai konsep penguasaan negara atas mineral, minyak dan gas bumi, putusan MK ini tidak lain merupakan kelanjutan dari pergulatan bangsa Indonesia mendefinisikan ulang dan mengaktualisasikan filosofi yang dirumuskan oleh para pendiri negara kita dalam konstitusi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Konsep penguasaan oleh negara ini mengalami dinamika di dalam penerapannya.

Terkait penguasaan atas mineral minyak dan gas bumi, kita kenal ada tiga konsep penguasaan, yaitu:
  • Kuasa mineral (mineral right), penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah suatu negara sebagai bagian integral dari kedaulatan wilayah;
  • Kuasa pertambangan (mining right), wewenang dalam pengaturan dan pengawasan pelaksanaan kegiatan pertambangan;
  • Kuasa usaha pertambangan (economic right), wewenang untuk melakukan pengendalian dan pengelolaan kegiatan pertambangan.[ii]  
Implementasi ketiga konsep tersebut mengalami pergeseran, seiring dengan perubahan pemaknaan filosofi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Ada kalanya satu konsep lebih berat ke pihak negara, tetapi di lain waktu lebih berat ke pihak kontraktor. Pergeseran tersebut tampak pada periodesasi perjalanan sejarah bangsa Indonesia dalam pengusahaan migas sejak zaman kolonial.

Sejarah Kegiatan Pengusahaan Migas
Periode pertama adalah masa kolonialisme, kegiatan pengusahaan migas dimulai pada tahun 1883 saat ditemukannya cadangan minyak di Telaga Said. Mengingat Indonesia pada waktu itu masih di bawah penjajahan Belanda, maka legalitas pengusahaan migas pun dilakukan dengan penguasa jajahan pada waktu itu. Perusahaan minyak internasional yang melakukan kegiatan ekplorasi dan eksploitasi migas memiliki kontrak kerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda dalam bentuk perjanjian konsesi. Di bawah perjanjian konsesi ini, praktis semua konsep penguasaan tersebut di atas, yaitu mineral right, mining right dan economic right berada di tangan perusahaan minyak asing pemegang konsesi, sementara pemerintah Hindia Belanda hanya mendapatkan royalty. Konsensi terus berlangsung hingga Indonesia merdeka.

Periode kedua yang ditandai dengan munculnya mosi Moh. Hassan pada 2 Agustus 1951 serta diundangkannya UU No 44/Prp/1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. UU tersebut meneguhkan kembali prinsip-prinsip dalam pengusahaan migas sebagaimana telah digariskan oleh para pendiri negara kita di dalam konstitusi.

Pasal 2 UU No 44/Prp/1960 menyebutkan “Segala bahan galian minyak dan gas bumi yang ada di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang yang dikuasai oleh negara”. Ketentuan pasal ini menegaskan bahwa mineral right berada di tangan negara, sesuai amanat konstitusi. Selanjutnya Pasal 6 (1) menyebutkan “Menteri dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor untuk perusahaan negara apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang belum atau tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh perusahaan negara yang bersangkutan selaku pemegang kuasa pertambangan”. Ketentuan pasal tersebut dapat dimaknai mining right berada di tangan perusahaan negara, sedangkan economic right diberikan kepada kontraktor dari perusahaan negara.

Praktiknya tidak mudah untuk mengganti sistem kontrak konsesi yang berlaku, karena kuatnya posisi tawar perusahaan-perusahaan minyak asing pada saat itu, baru pada tahun 1963 sistem kontrak konsesi dapat diganti dengan diberlakukannya Kontrak Karya dengan PT Caltex Pacific Indonesia, PT Shell Indonesia dan PT Stanvac Indonesia. Dalam konsep Kontrak Karya ini kontraktor tetap berwenang penuh atas kegiatan operasi migas, tidak ada unsur pengawasan dan pengendalian oleh negara. Posisi negara hanya menerima pembagian keuntungan dari hasil penjualan minyak saja. Melalui Kontrak Karya inipun bangsa Indonesia baru berhasil mendapatkan mineral right saja, sedangkan mining right dan economic right masih dikuasai oleh kontraktor asing. 

Periode ketiga pada tahun 1966, merupakan fase bagi bangsa Indonesia menerapkan falsafah penguasaan migas yang diamanatkan konstitusi, yaitu dengan ditandatanganinya Contract Production Sharing dengan Independent Indonesia American Petroleum Company (IIAPCO) pada bulan Agustus 1966. Dalam konsep Contract Production Sharing ini, perusahaan negara memegang kendali dan pengawasan serta manajemen umum kegiatan hulu migas, sedangkan kontraktor hanya mendapatkan bagi hasil saja. Dengan demikian mineral right dan mining right dapat dikembalikan kepada bangsa Indonesia, sedangkan economic right diberikan kepada perusahaan negara dan kontraktor dari perusahaan negara.

Periode keempat ditandai dengan diundangkannya UU No 22 Tahun 2001, dimana ketentuan Pasal 4 menyatakan:
(1) Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam strategis tak terbarukan yang terkandung di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh Negara
(2) Penguasaan oleh Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan
(3) Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 23”

Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 1 angka 23 menyatakan “Badan Pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi”. Melalui undang-undang ini terjadi pergeseran pemegang mining right dari sebelumnya perusahaan negara kepada pemerintah, dan economic right diberikan kepada SKK Migas dan kontraktor dari SKK Migas.

MK melengkapi upaya penafsiran atas konsep penguasaan migas oleh negara melalui Putusan Nomor 36/PUU-X/2012 tanggal 13 November 2012. Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan “Penguasaan negara harus dimaknai, rakyat secara kolektif dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat…. Pemerintah melakukan tindakan pengurusan atas sumber daya alam Migas dengan memberikan konsesi kepada satu atau beberapa Badan Usaha Milik Negara untuk melakukan kegiatan usaha Migas pada sektor hulu. Badan Usaha Milik Negara itulah yang akan melakukan kerja sama dengan Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, Usaha Kecil, badan hukum swasta, atau Bentuk Usaha Tetap”.[iii] Pertimbangan hukum tersebut mengandung makna bahwa mining right dan economic right sepenuhnya dipegang oleh pemerintah.

Putusan Mahkamah Konstitusi juga mengamanatkan dua perubahan. Pertama mengenai siapa wakil negera dalam melakukan pengaturan dan pengawasan, serta pengendalian dan pengelolaan kegiatan industri hulu migas. Kedua bagaimana pola penunjukan pelaksana kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas, atau yang sering disebut granting instrument.

Mengenai perubahan yang pertama, seperti disebut di atas MK menghendaki agar tindakan pengaturan dan pengawasan serta pengendalian dan pengelolaan kegiatan industri hulu migas, dilakukan langsung oleh pemerintah (eksekutif). Hal ini berarti UU Migas yang baru nantinya harus mengukuhkan kedudukan SKK Migas sekarang ini sebagai bagian dari Pemerintah (eksekutif). Selain itu, tugas dan wewenang SKK Migas harus diperluas tidak hanya meliputi tindakan pengaturan dan pengawasan (mining right) tetapi juga tindakan pengendalian dan pengelolaan (economic right).

Hubungan Kerja Karyawan SKK Migas
Salah satu aspek penting untuk diperhatikan dari dikukuhkannya SKK Migas sebagai bagian dari pemerintah (eksekutif) adalah mengenai status hubungan kerja karyawan SKK Migas yang sebelumnya merupakan karyawan BP MIGAS. Sebelum BP MIGAS dibubarkan hubungan kerja antara karyawan dengan BP MIGAS diatur dalam Surat Keputusan No.Kpts.75/BP00000/2003-S0 tertanggal 17 Oktober 2003, yang kemudian disempurnakan dengan Surat Keputusan No. Kpts.51/BP00000/2004-S0 tentang Norma dan Syarat Kerja (NSK) Pekerja BP MIGAS,tertanggal 22 Oktober 2004, yang kemudian digantikan dengan Surat Keputusan No.KEP-0062/BP00000/2008/S0 tentang Norma dan Syarat Kerja (NSK) Pekerja BP MIGAS, tertanggal 4 Desember 2008.

Materi dari Norma dan Syarat Kerja (NSK) Pekerja BP MIGAS, pada pokoknya berisi syarat kerja, tata tertib, hak dan kewajiban karyawan & BP MIGAS. Didalam Norma dan Syarat Kerja (NSK) Pekerja BP MIGAS, Bab XV mengenai Pemutusan Hubungan Kerja, huruf “D” angka 2, diatur mengenai “PHK karena pembubaran BP MIGAS dan hak-hak karyawan berupa Penghargaan Atas Pengabdian dan yang lainya. Kenyataanya pada saat BP MIGAS dibubarkan hak-hak karyawan sampai saat ini belum dibayarkan.

Kondisi ini telah memicu kekhawatiran dan keprihatinan karyawan, apalagi saat ini santer beredar kabar mengenai rencana pembubaran SKK MIGAS. Kekhawatiran karyawan menjadi sangat beralasan ketika ternyata Kementrian Keuangan cq Ditjen Anggaran selalu menolak persetujuan dana pesangon bagi karyawan dalam proses pengajuan anggaran SKK MIGAS. Tepat jika kemudian karyawan membentuk wadah untuk memperjuangkan haknya melalui pembentukan Serikat Pekerja Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SPSKKMIGAS). Kedepan apabila SKK Migas akan dibubarkan maka hal utama yang harus di selesaikan adalah membayarkan hak karyawan berupa penghargaan atas pengabdian dan hak yang lainya, sehingga apabila nantinya karyawan dipekerjakan kembali dalam wadah/lembaga baru yang ditentukan oleh undang-undang, maka perhitungan masa kerjanya dapat dimulai dari nol tahun.

Selanjutnya terkait perubahan kedua mengenai bagaimana pola penunjukan pelaksana kegiatan eksplorasi dan eksploitas migas, kami kutip pertimbangan Mahkamah Konstitusi sebagai berikut: “… hubungan antara BP Migas (Negara – sekarang SKK Migas) dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap adalah hubungan yang bersifat keperdataan yaitu menempatkan posisi negara dan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang mengelola Migas dalam posisi yang sederajat. Dalam hal ini ketika kontrak telah ditandatangani, negara menjadi terikat pada isi KKS. Akibatnya, negara kehilangan diskresi untuk membuat regulasi bagi kepentingan rakyat yang bertentangan dengan isi KKS, sehingga negara kehilangan kedaulatannya dalam penguasaan sumber daya alam yaitu kedaulatan untuk mengatur Migas yang bertentangan dengan isi KKS. Padahal negara, sebagai representasi rakyat dalam penguasaan sumber daya alam harus memiliki keleluasaan membuat aturan yang membawa manfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menurut Mahkamah hubungan antara negara dengan swasta dalam pengelolaan sumber daya alam tidak dapat dilakukan dengan hubungan keperdataan, akan tetapi harus merupakan hubungan yang bersifat publik yaitu berupa pemberian konsesi atau perizinan yang sepenuhnya di bawah kontrol dan kekuasaan Negara”. [iv]

Intinya Mahkamah Konstitusi menghendaki agar nantinya penunjukan pelaksana kegiatan eksplorasi dan eksploitas migas adalah didasarkan pada hukum publik dengan menggunakan instrument konsesi atau perizinan. Hal ini adalah perubahan yang sangat radikal, karena mengubah pola hubungan yang tadinya berada pada lapangan hukum privat menjadi berada di lapangan hukum publik.

Perubahan tersebut boleh jadi tidak akan terlalu disukai oleh pelaku usaha kegiatan usaha migas karena beberapa hal, yaitu:
  • Kedudukan pelaku usaha dan pemerintah tidak lagi setara sebagai pihak dalam perjanjian, tetapi menjadi atas – bawah antara pemberi izin dan penerima izin.
  • Dalam kedudukannya selaku pemberi izin pemerintah dapat melakukan intervensi lebih luas dalam kegiatan operasi.
  • Pelaku usaha tidak lagi dapat membukukan economic interest dari cadangan mingas yang ada dan biaya operasi.
Investor selaku pelaku usaha kegiatan hulu migas tentunya mengharapkan adanya kebebasan dalam melaksanakan kegiatan bisnisnya dan dapat membukukan economic interest, selain tentu saja mendapat keuntungan dari usaha yang dilakukannya. Oleh karena itu tata kelola industri yang hendak dikembangkan tentunya harus memperhatikan kepentingan semua pihak secara berimbang. Artinya kepentingan pelaku usaha atau investor juga harus diperhatikan. Hal ini tidak lain agar dengan tata kelola yang barus diharapkan tingkat produksi migas akan meningkat, bukannya menurun.

Beberapa hal yang harus mendapat perhatian dan diatur secara jelas dalam granting instrument yang akan digunakan, yaitu:
  • Siapa yang menyusun rencana pengembangan lapangan minyak serta rencana kerja dan anggaran. Selama ini rencana tersebut disusun oleh kontraktor untuk kemudian disetujui oleh SKK Migas. Apakah nantinya SKK Migas yang menyusun dan kontraktor tinggal melaksanakan? Apakah SKK Migas cukup memiliki sumber daya untuk itu?
  • Bagaimana pembagian risiko dan tanggung jawab antara kontraktor dan SKK Migas, dalam hal rencana pengembangan lapangan minyak serta rencana kerja dan anggaran disusun SKK Migas, namun setelah dilaksanakan ternyata hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan? Kondisi sekarang ini bawah konsep Kontrak Bagi Hasil, rencana disusun oleh kontraktor untuk kemudian disetujui SKK Migas, dan risiko ada di tangan kontraktor. Apakah nantinya SKK Migas yang akan membuat rencana? Apakah kontraktor mau untuk menanggung risiko, atau Negara bersedia untuk berbagai risiko?
  • Atas biaya siapa kegiatan operasi akan dilaksanakan? Kondisi saat ini sesuai dengan konsep Kontrak Bagi Hasil kontraktor harus harus menyediakan dana terlebih dahulu kemudian akan diganti dari minyak terproduksi. Apakah nantinya SKK Migas yang akan menyediakan biaya? apakah pemerintah dapat menyisihkan dari anggaran Negara?
  • Jika kontraktor harus menyediakan dana terlebih dahulu untuk kegiatan operasi, bagaimana mekanisme penggantian biayanya? Saat ini kita sering mendengar pendapat yang miring tentang praktek pengembalian biaya operasi (cost recovery) yang diduga tidak efisien dan tidak wajar. Jika nantinya kontraktor harus menyediakan dana terlebih dahulu, bagaimana prosedur yang efisien untuk menekan kemungkinan penyalahgunaan?
  • Bagaimana mekanisme kompensasi yang diberikan kepada kontraktor? Mekanisme yang berlaku saat ini adalah kontraktor menerima bagi hasil produksi setelah dikurangi biaya-biaya. Jika nantinya granting instrument yang digunakan adalah perizinan atau konsesi apakah kompensasi yang diterima kontraktor akan berbentuk pembagian keuntungan atau fee saja?  Apapun skema kompensasi yang disediakan harus lah kompetitif agar bisa menarik investor untuk melakukan usaha di sektor hulu migas.
  • Bagaimana mekanisme perpajakan yang akan diterapkan? Saat ini kontraktor bisa memilih untuk menggunakan regime pajak yang berlaku saat transaksi atau saat kontrak ditandatangani. Apakah nanti pilihan tersebut dihilangkan dan kontraktor harus tunduk pada regime pajak yang berlaku? Perlu dicatat agar hendaknya disusun mekanisme perpajakan yang bisa menjadi insentif bagi para investor agar tertarik untuk melakukan usaha di sektor hulu migas.
  • Siapa yang harus menyediakan peralatan dan fasilitas yang diperlukan dalam kegiatan operasi? Saat ini sesuai dengan prinsip Kontrak Bagi Hasil, kontraktor membeli perlatan yang diperlukan dan biayanya dimasukan sebagai biaya operasi, kemudian peralatan tersebut menjadi milik Negara. Nantinya apakah kontraktor yang harus membawa peralatan dan fasilitasnya sendiri? Investasi kontraktor ini tentu harus diperhitungkan.
  • Bagaimana izin-izin yang diperlukan dalam kegiatan operasi akan diberikan? Selama ini izin-izin, seperti izin lokasi, izin pinjam pakai kawasan hutan, dan izin lingkungan harus diurus sendiri oleh kontraktor dan sering menjadi kendala dalam kegiatan operasi. Apakah nantinya izin-izin ini dapat diberikan sekaligus dan menyatu dengan konsesi yang akan diberikan kepada kontraktor?
  • Bagaimana mengokomodasi aspirasi dari daerah penghasil untuk dapat berpartisipasi dalam kegiatan hulu migas? Berdasarkan ketentuan UU Migas saat ini daerah penghasil dapat memiliki partisipasi sebagai pengelola suatu blok migas. Apakah nantinya daerah juga dapat memiliki interest dalam perusahaan kontraktor yang mendapatkan konsesi dari Negara?
  • Bagaimana mekanisme penyelesaian jika muncul sengketa antara kontraktor dan SKK Migas? Saat ini mekanisme penyeelsaian sengketa yang dipakai adalah melalui arbitrase. Nantinya, mengingat kedudukan kontraktor dan SKK Migas bukanlah sebagai para pihak dalam kontrak, apakah bisa menggunakan mekanisme arbitrase? Jika mekanisme yang digunakan adalah melalui lembaga peradilan, apakah akan ada resistensi dari kontraktor?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas harus dijawab dan diatur dengan pasti dalam suatu kebijakan baik dalam bentuk peraturan maupun konsesi yang diberikan. Kebijakan tersebut harus disusun sedemikian rupa sehingga secara komersil masih cukup menarik bagi investor dan mengatasi potensi sentiment negative dari munculnya tata kelola yang baru ini. Bagaimana pun juga tata kelola dan pola hubungan antara negara dan kontraktor pada akhirnya adalah berpulang pada keputusan politik pemerintah, dan yang tetap menjadi perhatian investor adalah faktor keekonomian skema yang ditawarkan.[v]

Wallahu’alam.

*Kandidat Doktor Ilmu Hukum Undip
**Kandidat Doktor Ilmu Hukum Trisakti
Tags:

Berita Terkait