Gugatan yang terdatar di PN Jakarta Pusat pada 24 Januari 2003 itu dilakukan karena telah terjadi pelanggaran HAM terhadap buruh migran Indonesia dan anggota keluarganya. Mereka dideportasi paksa secara massal dari Malaysia ke Nunukan, Kalimantan Timur, Juli 2002.
Tidak aneh kalau gugatan itu dilayangkan terhadap sembilan instansi pemerintah terkait yang dinilai lamban menangani tragedi Nunukan, Juli 2002. Mereka adalah Presiden, Wakil Presiden, Menko Kesra, Menteri Luar Negeri, Menteri Sosial, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Kesehatan, Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, dan Dirjen Imigrasi Departemen Kehakiman & HAM.
Dalam gugatannya, TATN meminta pengadilan untuk menyatakan para tergugat lalai dalam memberikan perlindungan terhadap warga negaranya yang menjadi buruh migran di luar negeri. Akibat kelalaian itu, telah menyebabkan kerugian materiil dan immateriil bagi para buruh migran.
Penggugat juga meminta agar pengadilan menghukum para tergugat untuk segera meratifikasi Konvensi PBB tentang Perlindungan Hak Buruh Migran (1990), membuat perjanjian bilateral dengan Malaysia tentang penempatan buruh migran. Di samping melakukan investigasi atas kerugian tadi, pemerintah diminta pula membicarakan kompensasi kepada para korban dengan pemerintah Malaysia.
Apakah permintaan itu dikabulkan atau tidak, sepenuhnya tergantung majelis hakim. Toh, materi gugatan belum disentuh sama sekali. Sidang-sidang berikutnya masih akan diwarnai pro-kontra dan argumentasi hukum. Tetapi, pengakuan majelis hakim atas mekanisme citizen law suit patut dicatat sebagai terobosan hukum dalam sejarah pengadilan Indonesia. "Saya kira itu bisa menjadi preseden hukum di masa mendatang," ujar Asfinawati, anggota TATN lainnya.