Pro-kontra Citizen Law Suit: Belajar dari Kasus Nunukan
Fokus

Pro-kontra Citizen Law Suit: Belajar dari Kasus Nunukan

Sebuah terobosan hukum kembali bergulir dari Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Untuk pertama kalinya, pengadilan membenarkan sebuah gugatan warga negara terhadap penyelenggara negara, atau mekanisme hukum yang lazim disebut citizen law suit. Model alternatif gugatan di masa mendatang.

Mys/Nay
Bacaan 2 Menit

 

Citizen law suit dapat diajukan apabila terdapat violating the environment law atau terdapat ancaman terhadap lingkungan hidup. Menurut kuasa para tergugat, untuk bisa mengajukan citizen law suit, pengadilan harus memperhatikan ada tidaknya standing. Sebab, kalau tidak ada standing, maka gugatan tidak dapat diperiksa.

 

Tetapi argumen tergugat dibantah oleh TATN. Meskipun tidak ada dasar hukum, nyatanya dalam praktek, pengadilan telah berkali-kali melakukan terobosan hukum. Secara yuridis, kasus Nunukan adalah kasus pelanggaran HAM.

 

Pasal 71 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia tegas menyebut bahwa "perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah". Selanjutnya, pasal 7 ayat (1) memberikan hak kepada setiap orang untuk melakukan semua upaya hukum atas terjadinya pelanggaran HAM.

 

Bukan korban

Salah satu masalah penting yang dikritisi kuasa hukum para tergugat adalah keterwakilan penggugat. Sebagaimana diketahui, gugatan atas tragedi Nunukan ke PN Jakarta Pusat diajukan oleh 53 orang anggota masyarakat. Mulai dari rohaniwan Romo Sandyawan Sumardi, aktivis perempuan Nursyahbani Katjasungkana, bekas buruh migran hingga ibu rumah tangga. Pendek kata, para penggugat bukanlah korban langsung dari tragedi Nunukan.

 

Itulah yang dipersoalkan Slamet Riyadi dan kawan-kawan. Menurut kuasa hukum tergugat tersebut, citizen law suit mestinya merupakan gugatan yang diajukan oleh orang yang benar-benar telah nyata (secara langsung) menderita kerugian. Dan, yang tak kalah pentingnya, penggugat diberi hak oleh undang-undang untuk menggugat. Oleh karena syarat tersebut tidak dipenuhi, menurut tergugat, gugatan Romo Sandyawan Cs harus dinyatakan tidak dapat diterima.

 

TATN sendiri mengakui bahwa para penggugat bukanlah korban langsung. Tetapi, ada  keluarga buruh migran, mantan buruh asal Indonesia, pekerja sosial, dan masyarakat biasa. Tragedi Nunukan telah menggugah mereka untuk menggugat.

 

Menurut Romo Sandyawan, dalam tragedi yang menewaskan 79 orang buruh migran itu, pemerintah terkesan tidak tanggap. Penelitian kalangan LSM menunjukkan bahwa para buruh sudah diperlakukan tidak manusiawi sejak masa pengiriman hingga terusir dari Malaysia. "Itu menunjukkan parahnya perlindungan hukum (dari Pemerintah) terhadap buruh migran," Rita Olivia, salah seorang anggota TATN, menambahkan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: