Prof. Ibnu Sina Chandranegara: UUD 1945 Butuh Norma Pencegahan Konflik Kepentingan
Utama

Prof. Ibnu Sina Chandranegara: UUD 1945 Butuh Norma Pencegahan Konflik Kepentingan

Ada keberlanjutan praktik memonopoli kekuasaan negara dengan menggunakan kekuasaan yang sesungguhnya (true source power in society) di Indonesia modern. Pelembagaan norma etika pencegahan konflik kepentingan dalam konstitusi bisa jadi solusi.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 6 Menit

Akhirnya, motivasi pembuatan hukum ikut tercemar. Legislasi menjadi tidak jelas antara demi kepentingan melayani mandat kekuasaan negara atau melayani kekuasaan yang sebenarnya. “Pada ujungnya terjadinya benturan kepentingan (conflict of interest),” kata Ibnu Sina.

Pencegahan Konflik Kepentingan dalam Konstitusi

Ibnu Sina mengambil posisi setuju perlu adanya klausula pencegahan konflik kepentingan (conflict of interest prevention clause) dalam konstitusi. Ia mengakui bahwa persoalan konflik kepentingan lebih pada soal etika. Namun, ia juga meyakini pelembagaan sistem norma etika (rule of ethics) ke dalam konstitusi akan menambah bobot pada pemisahan kekuasaan yang jauh lebih modern.

Di beberapa negara, hukum yang memuat pencegahan konflik kepentingan umum dikenal dan terdapat berbagai tipe pelembagaan. Tipe pertama adalah melembagakannya di konstitusi, lalu tipe kedua diatur pada level undang-undang dan/atau level peraturan internal masing-masing cabang kekuasaan.

Melacak pada jejak sejarah hukum, Ibnu Sina mengatakan Indonesia memiliki pengalaman diantara kedua tipe tersebut, meski pada tipe pertama belum sempat dilaksanakan. Klausula pencegahan konflik kepentingan pernah diatur dalam Pasal 79 ayat (2) Konstitusi RIS, begitu juga dalam Pasal 55 UUD Sementara 1950. Selanjutnya setelah diterbitkannya Dekrit Presiden Tanggal 5 Juli 1959 yang mengaktifkan kembali UUD 1945 tidak ada lagi klausula pencegahan konflik kepentingan dalam konstitusi Indonesia.

“Pada akhirnya, Indonesia menjadi tipe kedua dikarenakan saat ini, klausula serupa diatur pada level Ketetapan MPR dan undang-undang,” kata Ibnu Sina. Ia merujuk Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No.VI/MPR/2001 Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU Administrasi Pemerintahan) khususnya Pasal 42-Pasal 45.

Mengamati perkembangan Indonesia terkini, Ibnu Sina sampai pada usulan bahwa UUD 1945 perlu memuat norma pencegahan konflik kepentingan. “Pemuatan klausul pencegahan konflik kepentingan merupakan elemen penting untuk menyempurnakan UUD 1945 sebagai sarana pembatasan (to constraint) dan sebagai sarana pembebasan (to liberate),” ujarnya.

Apa saja yang harus diatur? Pertama, larangan untuk adanya rangkap jabatan di sektor publik atau privat (badan usaha) baik nasional maupun internasional bagi penyelenggara negara, serta larangan rangkap jabatan sebagai pengurus partai politik. Kedua, larangan memiliki piutang yang menjadi tanggungan negara. Ketiga, berbagai larangan tersebut berlaku tiga tahun sebelum dan sesudah menjadi penyelenggara negara. Di sisi lain, makna penyelenggara negara bisa juga diperluas atau pun dibatasi. Begitu juga terhadap jabatan hakim maupun dari cabang kekuasaannya perlu diatur norma serupa dalam UUD 145 yang meminimalisir tercemarnya kemerdekaan kekuasaan kehakiman.

Ibnu Sina meraih gelar profesor di usia sangat muda yaitu 33 tahun. Ia menempuh studi sarjana hukum di Universitas Muhammadiyah Jakarta tahun 2007-2011, magister hukum di Universitas Muhammadiyah Jakarta tahun 2011-2013, dan doktor hukum di Universitas Gadjah Mada tahun 2014-2018. Ia mulai mengabdi di almamaternya sejak tahun 2011.

Kepakaran Ibnu Sina fokus pada hukum tata negara terutama riset mengenai kekuasaan kehakiman. Skripsinya berjudul “Kewenangan Mahkamah Konstitusi Perihal Memutus Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara: Studi Terhadap Politik Hukum Pasal 65 UU No 24 Tahun 2003”. Lalu tesisnya berjudul “Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman dalam Konsep Negara Hukum: Studi Tentang Relasi Antara Perubahan Konfigurasi Politik dengan Peraturan Perundang-Undangan yang Berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman”, dan judul disertasinya adalah “Politik Hukum Jaminan Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman”. Pada tahun 2016-2020, ia pernah menjabat Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Tags:

Berita Terkait