Prof. Ibnu Sina Chandranegara: UUD 1945 Butuh Norma Pencegahan Konflik Kepentingan
Utama

Prof. Ibnu Sina Chandranegara: UUD 1945 Butuh Norma Pencegahan Konflik Kepentingan

Ada keberlanjutan praktik memonopoli kekuasaan negara dengan menggunakan kekuasaan yang sesungguhnya (true source power in society) di Indonesia modern. Pelembagaan norma etika pencegahan konflik kepentingan dalam konstitusi bisa jadi solusi.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 6 Menit
Prof. Ibnu Sina Chandranegara dalam orasi pengukuhannya sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Jakarta, Rabu 26 Juli 2023. Foto: NEE
Prof. Ibnu Sina Chandranegara dalam orasi pengukuhannya sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Jakarta, Rabu 26 Juli 2023. Foto: NEE

Teori tentang kekuasaan dalam negara kerap merujuk pada pemisahan kekuasaan ala Montesquieu yaitu kekuasaan pembentuk hukum (legislative), kekuasaan pelaksana hukum (executive), dan kekuasaan kehakiman (judiciary). Padahal, kenyataannya tidak sesederhana itu. Setidaknya ada pembagian yang lebih relevan yaitu kekuasaan yang bersumber dari negara dan kekuasaan yang sesungguhnya.

“Doktrin pemisahan kekuasaan yang telah berusia tiga abad, nyatanya masih terus mengalami pencarian bentuk yang terbaik sesuai masanya,” kata Prof. Ibnu Sina Chandranegara dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Jakarta, Rabu 26 Juli 2023 lalu. Pidatonya berjudul “Tiga Abad Doktrin Pemisahan Kekuasaan: di antara Memisahkan Kekuasaan dan Memisahkan Kekuasaan yang Sesungguhnya”.

Baca Juga:

Ibnu Sina merujuk pendapat Howard Zinn soal istilah kekuasaan yang sesungguhnya yang bersanding dengan teori tiga cabang kekuasaan negara ala Montesquieu. Kekuasaan yang sesungguhnya (true source power in society) terletak dalam beberapa dimensi yang kompleks. Ibnu Sina menyebut adanya dimensi kekuasaan yang bersumber mulai dari aktivitas ekonomi (economic power), kekuasaan yang  bersumber dari interaksi sosial non negara (social power), kekuasaan yang bersumber dari asosiasi-asosiasi ilmuwan dan/atau cendekiawan (knowledge or intellectual power), kekuasaan yang bersumber dari kultur (cultural power), kekuasaan yang bersumber dari penguasaan teknologi (technological power), kekuasaan yang bersumber dari penguasaan media (media power), kekuasaan yang bersumber dari otoritas keagamaan (spiritual power), kekuasaan yang bersumber dari kekuatan militer (military power), hingga kekuasaan yang bersumber dari dominasi dalam hubungan internasional (international relationship dominance power).

“Di dalam kekuasaan yang sesungguhnya, peran etika jauh lebih memiliki makna,” kata Ibnu. Hal itu karena kekuasaan jenis ini cukup mampu membatasi dirinya sendiri secara internal. Ada semacam oleh sistem kekuasaan yang ada di dalamnya (automatic limitation) yang bisa diandalkan.

Di sisi lain, kekuasaan yang bersumber dari negara cenderung akan menggunakan hukum positif untuk membatasinya. Ada kecenderungan gagal untuk membatasi dirinya sendiri secara internal. Oleh karena itu, kita menyaksikan pelaksanaan tiga cabang kekuasaan yang bersumber dari negara diatur dengan berbagai peraturan perundang-undangan.

Catatan kritis Ibnu Sina adalah kekuasaan yang sesungguhnya telah lama luput dari kajian serius hukum tata negara. Bisa dikatakan kajian tentang true source power in society justru lebih akrab di kalangan sarjana politik. “Berbagai sarjana seperti John Locke, Montesquieu, C. Van Vollenhoven, dan Frank J. Goodnow cenderung memilih untuk memfokuskan pada kekuasaan yang bersumber dari negara,” ujarnya. Hal itu bisa dimengerti karena perdebatan ide tentang organisasi negara saat itu utamanya dipengaruhi kekuasaan negara yang serupa dengan kekuasaan Tuhan.

Alih-alih melihat kekuasaan yang bersumber dari dinamika kehidupan manusia, kekuasaan lebih mudah dilihat sebagai kategori kegiatan Tuhan dalam mengelola ciptaan-Nya. Negara menjadi cerminan dari Tuhan yang memiliki supremasi terhadap segala yang lebih rendah dari-Nya. Ibnu Sina lalu melacak berbagai pola pengelolaan kekuasaan yang bersumber dari negara di berbagai wilayah mulai dari Amerika Serikat, Eropa, hingga Asia Tenggara.

“Terlepas adanya keberagaman model, setidaknya terdapat orientasi tujuan yang sama yaitu menghindari kekuasaan yang absolut, meski tafsir terhadap absolutisme ini berbeda-beda,” kata Ibnu Sina menyimpulkan. Berbagai model pengelolaan kekuasaan yang bersumber dari negara dituangkan dalam hukum tertinggi dalam negara yaitu konsitusi.

Belakangan, Ibnu Sina melihat pemisahan kekuasaan yang dilakukan secara hukum melalui konstitusi menghadapi kecenderungan pembauran dengan kekuasaan yang sesungguhnya dalam praktiknya. Banyak sarjana yang melakukan redefinisi kekuasaan dalam pemaknaan trias politica menjadi negara (state), masyarakat (civil society), dan pasar (market). Bahkan, berkembang konsep cabang kekuasaan keempat (fourth estate) dengan beragam variasi.

Ibnu Sina mengatakan Doktrin cabang kekuasaan keempat dikembangkan sebagai pengakuan adanya cabang kekuasaan lain—baik yang bersumber dari kekuasaan negara maupun kekuasaan yang sesungguhnya—yang dianggap memiliki signifikansi bagi kepentingan umum. Signifikansi yang dimaksud pada umumnya didasari pada kemampuan cabang kekuasaan keempat untuk mempengaruhi pembentukan kebijakan (policy making), implementasi atau pelaksanaan kebijakan (policy executing), dan penegakkan kebijakan (policy enforcing).

Sebagai contoh, Ibnu Sina menyebut cabang kekuasaan keempat yang bersumber dari kekuasaan negara adalah lembaga-lembaga independen campuran (inner structure of power). Di sisi lain, cabang kekuasaan keempat yang bersumber dari kekuasaan sesungguhnya yaitu media massa dan pelaku usaha yang menguasai mayoritas pasar (outer structure of power). Poin pentingnya, pemisahan kekuasaan yang bersumber dari kekuasaan negara semakin menjadi kekuasaan di atas kertas.

Artinya, meski terjadi pemisahan kekuasaan yang bersumber dari negara, dapat menjadi tidak bermakna karena sumber-sumber kekuasaan yang sesungguhnya justru membaur dengan kekuasaan negara. “Dalam berbagai kesempatan, bahkan organ-organ negara menjadi sangat tergantung dengan organ-organ non negara yang memiliki signifikansi dalam berbagai kehidupan berbangsa dan bernegara,” kata Ibnu Sina. Ia menyebut peran asosiasi pelaku usaha, pemilik media massa, ormas dalam berbagai bentuknya, bahkan pimpinan partai politik beserta organisasi sayapnya kerap menjadi faktor penentu sikap cabang-cabang kekuasaan negara.

Ibnu Sina melihat ada gejala demikian praktik demokrasi di Indonesia sejak sebelum hingga sesudah reformasi 1998. Ada keberlanjutan praktik memonopoli kekuasaan negara dengan menggunakan kekuasaan yang sesungguhnya. “Dapat dicermati dari gejala-gejala serius seperti kecenderungan politik dinasti bahkan di dalam tubuh partai politik, juga adanya kecenderungan bagi pejabat pemerintahan untuk sulit membedakan antara urusan pribadi atau privat.”

Akhirnya, motivasi pembuatan hukum ikut tercemar. Legislasi menjadi tidak jelas antara demi kepentingan melayani mandat kekuasaan negara atau melayani kekuasaan yang sebenarnya. “Pada ujungnya terjadinya benturan kepentingan (conflict of interest),” kata Ibnu Sina.

Pencegahan Konflik Kepentingan dalam Konstitusi

Ibnu Sina mengambil posisi setuju perlu adanya klausula pencegahan konflik kepentingan (conflict of interest prevention clause) dalam konstitusi. Ia mengakui bahwa persoalan konflik kepentingan lebih pada soal etika. Namun, ia juga meyakini pelembagaan sistem norma etika (rule of ethics) ke dalam konstitusi akan menambah bobot pada pemisahan kekuasaan yang jauh lebih modern.

Di beberapa negara, hukum yang memuat pencegahan konflik kepentingan umum dikenal dan terdapat berbagai tipe pelembagaan. Tipe pertama adalah melembagakannya di konstitusi, lalu tipe kedua diatur pada level undang-undang dan/atau level peraturan internal masing-masing cabang kekuasaan.

Melacak pada jejak sejarah hukum, Ibnu Sina mengatakan Indonesia memiliki pengalaman diantara kedua tipe tersebut, meski pada tipe pertama belum sempat dilaksanakan. Klausula pencegahan konflik kepentingan pernah diatur dalam Pasal 79 ayat (2) Konstitusi RIS, begitu juga dalam Pasal 55 UUD Sementara 1950. Selanjutnya setelah diterbitkannya Dekrit Presiden Tanggal 5 Juli 1959 yang mengaktifkan kembali UUD 1945 tidak ada lagi klausula pencegahan konflik kepentingan dalam konstitusi Indonesia.

“Pada akhirnya, Indonesia menjadi tipe kedua dikarenakan saat ini, klausula serupa diatur pada level Ketetapan MPR dan undang-undang,” kata Ibnu Sina. Ia merujuk Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No.VI/MPR/2001 Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU Administrasi Pemerintahan) khususnya Pasal 42-Pasal 45.

Mengamati perkembangan Indonesia terkini, Ibnu Sina sampai pada usulan bahwa UUD 1945 perlu memuat norma pencegahan konflik kepentingan. “Pemuatan klausul pencegahan konflik kepentingan merupakan elemen penting untuk menyempurnakan UUD 1945 sebagai sarana pembatasan (to constraint) dan sebagai sarana pembebasan (to liberate),” ujarnya.

Apa saja yang harus diatur? Pertama, larangan untuk adanya rangkap jabatan di sektor publik atau privat (badan usaha) baik nasional maupun internasional bagi penyelenggara negara, serta larangan rangkap jabatan sebagai pengurus partai politik. Kedua, larangan memiliki piutang yang menjadi tanggungan negara. Ketiga, berbagai larangan tersebut berlaku tiga tahun sebelum dan sesudah menjadi penyelenggara negara. Di sisi lain, makna penyelenggara negara bisa juga diperluas atau pun dibatasi. Begitu juga terhadap jabatan hakim maupun dari cabang kekuasaannya perlu diatur norma serupa dalam UUD 145 yang meminimalisir tercemarnya kemerdekaan kekuasaan kehakiman.

Ibnu Sina meraih gelar profesor di usia sangat muda yaitu 33 tahun. Ia menempuh studi sarjana hukum di Universitas Muhammadiyah Jakarta tahun 2007-2011, magister hukum di Universitas Muhammadiyah Jakarta tahun 2011-2013, dan doktor hukum di Universitas Gadjah Mada tahun 2014-2018. Ia mulai mengabdi di almamaternya sejak tahun 2011.

Kepakaran Ibnu Sina fokus pada hukum tata negara terutama riset mengenai kekuasaan kehakiman. Skripsinya berjudul “Kewenangan Mahkamah Konstitusi Perihal Memutus Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara: Studi Terhadap Politik Hukum Pasal 65 UU No 24 Tahun 2003”. Lalu tesisnya berjudul “Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman dalam Konsep Negara Hukum: Studi Tentang Relasi Antara Perubahan Konfigurasi Politik dengan Peraturan Perundang-Undangan yang Berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman”, dan judul disertasinya adalah “Politik Hukum Jaminan Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman”. Pada tahun 2016-2020, ia pernah menjabat Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Tags:

Berita Terkait