Prof. Ibnu Sina Chandranegara: UUD 1945 Butuh Norma Pencegahan Konflik Kepentingan
Utama

Prof. Ibnu Sina Chandranegara: UUD 1945 Butuh Norma Pencegahan Konflik Kepentingan

Ada keberlanjutan praktik memonopoli kekuasaan negara dengan menggunakan kekuasaan yang sesungguhnya (true source power in society) di Indonesia modern. Pelembagaan norma etika pencegahan konflik kepentingan dalam konstitusi bisa jadi solusi.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 6 Menit

Alih-alih melihat kekuasaan yang bersumber dari dinamika kehidupan manusia, kekuasaan lebih mudah dilihat sebagai kategori kegiatan Tuhan dalam mengelola ciptaan-Nya. Negara menjadi cerminan dari Tuhan yang memiliki supremasi terhadap segala yang lebih rendah dari-Nya. Ibnu Sina lalu melacak berbagai pola pengelolaan kekuasaan yang bersumber dari negara di berbagai wilayah mulai dari Amerika Serikat, Eropa, hingga Asia Tenggara.

“Terlepas adanya keberagaman model, setidaknya terdapat orientasi tujuan yang sama yaitu menghindari kekuasaan yang absolut, meski tafsir terhadap absolutisme ini berbeda-beda,” kata Ibnu Sina menyimpulkan. Berbagai model pengelolaan kekuasaan yang bersumber dari negara dituangkan dalam hukum tertinggi dalam negara yaitu konsitusi.

Belakangan, Ibnu Sina melihat pemisahan kekuasaan yang dilakukan secara hukum melalui konstitusi menghadapi kecenderungan pembauran dengan kekuasaan yang sesungguhnya dalam praktiknya. Banyak sarjana yang melakukan redefinisi kekuasaan dalam pemaknaan trias politica menjadi negara (state), masyarakat (civil society), dan pasar (market). Bahkan, berkembang konsep cabang kekuasaan keempat (fourth estate) dengan beragam variasi.

Ibnu Sina mengatakan Doktrin cabang kekuasaan keempat dikembangkan sebagai pengakuan adanya cabang kekuasaan lain—baik yang bersumber dari kekuasaan negara maupun kekuasaan yang sesungguhnya—yang dianggap memiliki signifikansi bagi kepentingan umum. Signifikansi yang dimaksud pada umumnya didasari pada kemampuan cabang kekuasaan keempat untuk mempengaruhi pembentukan kebijakan (policy making), implementasi atau pelaksanaan kebijakan (policy executing), dan penegakkan kebijakan (policy enforcing).

Sebagai contoh, Ibnu Sina menyebut cabang kekuasaan keempat yang bersumber dari kekuasaan negara adalah lembaga-lembaga independen campuran (inner structure of power). Di sisi lain, cabang kekuasaan keempat yang bersumber dari kekuasaan sesungguhnya yaitu media massa dan pelaku usaha yang menguasai mayoritas pasar (outer structure of power). Poin pentingnya, pemisahan kekuasaan yang bersumber dari kekuasaan negara semakin menjadi kekuasaan di atas kertas.

Artinya, meski terjadi pemisahan kekuasaan yang bersumber dari negara, dapat menjadi tidak bermakna karena sumber-sumber kekuasaan yang sesungguhnya justru membaur dengan kekuasaan negara. “Dalam berbagai kesempatan, bahkan organ-organ negara menjadi sangat tergantung dengan organ-organ non negara yang memiliki signifikansi dalam berbagai kehidupan berbangsa dan bernegara,” kata Ibnu Sina. Ia menyebut peran asosiasi pelaku usaha, pemilik media massa, ormas dalam berbagai bentuknya, bahkan pimpinan partai politik beserta organisasi sayapnya kerap menjadi faktor penentu sikap cabang-cabang kekuasaan negara.

Ibnu Sina melihat ada gejala demikian praktik demokrasi di Indonesia sejak sebelum hingga sesudah reformasi 1998. Ada keberlanjutan praktik memonopoli kekuasaan negara dengan menggunakan kekuasaan yang sesungguhnya. “Dapat dicermati dari gejala-gejala serius seperti kecenderungan politik dinasti bahkan di dalam tubuh partai politik, juga adanya kecenderungan bagi pejabat pemerintahan untuk sulit membedakan antara urusan pribadi atau privat.”

Tags:

Berita Terkait