Problematika Hubungan Kerja di Masa Pandemi, Begini Pandangan Sejumlah Akademisi
Fokus

Problematika Hubungan Kerja di Masa Pandemi, Begini Pandangan Sejumlah Akademisi

Jutaan orang kehilangan pekerjaan. Perundingan pengusaha-pekerja, serta campur tangan pemerintah penting dilakukan untuk mencari solusi terbaik.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

Ia merujuk pada Pasal 151 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal ini menghendaki pengusaha, pekerja, serikat pekerja, dan pemerintah bersama-sama menguayakan agar tidak terjadi PHK. Kalaupun PHK menjadi opsi yang tidak dapat dihindari, perlu ada perundingan pengusaha dan pekerja.

Bagaimanapun hak-hak pekerja harus dipenuhi meskipun situasi pandemi. Termasuk misalnya jika seorang pekerja positif terjangkit Covid-19 dan harus dikarantina sesuai amanat UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Dosen Universitas Wijaya Putra, Joko Ismono, berpandangan bahwa upah pekerja yang suspect Covid-19 tetap harus dibayar selama yang bersangkutan menjalani isolasi atau karantina. Kalaupun ada perubahan besaran upah dan cara pembayarannya akibat PSBB, tetap harus dilakukan sesuai kesepakatan. Ia merujuk pada Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19.

Ada empat poin berkaitan dengan upah yang diatur dalam SE Menaker tersebut. Pertama, bagi pekerja yang masuk kategori Orang Dalam Pemantauan (ODP) berdasarkan keterangan dokter dan tidak masuk kerja paling lama 14 hari atau sesuai standar Kementerian Kesehatan, upahnya dibayar penuh. Kedua, jika pekerja masuk kategori suspect Covid-19 dan harus dikarantina, upahnya dibayar penuh selama masa karantina atau isolasi. Ketiga, jika pekerja tidak masuk kerja karena sakit Covid-19 dibuktikan dengan surat keterangan dokter, upahnya dibayar sesuai peraturan perundang-undangan. Di sini frasa terakhir bukan lagi ‘dibayar penuh’, melainkan dibayar sesuai peraturan perundang-undangan. Keempat, jika perusahaan membatasi kegiatan usaha yang berakibat sebagian atau seluruh pekerja tidak masuk kerja, maka besaran dan cara pembayaran upay dilakukan berdasarkan kesepakatan. Tujuannya adalah kelangsungan usaha.

Force Majeur

Dalam kondisi pandemi seperti sekarang, kesulitan bukan hanya dialami pekerja, tetapi juga pengusaha. Melakukan PHK adalah opsi yang sudah dijalankan sejumlah pengusaha. Lebih dari dua juta pekerja yang sudah dirumahkan dan di-PHK. Pertanyaan mendasarnya, dapatkah pengusaha melakukan PHK dalam situasi pandemi seperti sekarang?

Secara normatif, ada beberapa alasan PHK data dilakukan. Misalnya, alasan-alasan yang dibenarkan berdasarkan Pasal 164 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Pengusaha dapat melakukan PHK karena perusahaan tutup baik disebabkan oleh kerugian selama dua tahun berturut-turut maupun karena keadaan memaksa (force majeur). Dari ketentuan ini jelas bahwa pengusaha dapat melakukan PHK jika terjadi force majeur.

Apa yang dimaksud dengan force majeur dalam ketenagakerjaan? UU Ketenagakerjaan tidak memberikan penjelasan lebih detil. Secara umum, Joice Soraya menyatakan force majeur sebagai suatu keadaan yang tidak memungkinkan para pihak untuk melaksanakan prestasi sesuai perjanjian. Dalam perjanjian yang ditandatangani kedua belah pihak lazimnya telah diatur apa saja kondisi yang masuk kategori force majeur.

Sekretaris P3HKI, Abdul Khakim, berpendapat tujuan pengaturan force majeur dalam Pasal 164 UU Ketenagakerjaan adalah mencegah terjadinya kerugian pihak pekerja dalam hubungan kerja karena kondisi tak terduga, termasuk pandemi Covid-19. Hakikatnya adalah melindungi pekerja sebagai pihak yang lemah dalam hubungan kerja.

Tags:

Berita Terkait