Problematik Sistem Pemidanaan Tipiring dan Korporasi
Utama

Problematik Sistem Pemidanaan Tipiring dan Korporasi

Prof Topo menyarankan kajian soal ketidakakuratan sistem pemidanaan dan sistem pemasyarakatan menarik dibahas dalam buku Crime and Punishment in Indonesia. Apalagi soal tindak pidana dengan pemidanaan minimum (tipiring) di berbagai peraturan masih mengundang persoalan over kapasitas Lapas dan Rutan di Indonesia.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit

Rifqi melihat kondisi tersebut mendorong pola penghukuman. Bila pelaku telah ditahan di tingkat penyidikan, hakim dalam putusannya bakal mengganjar hukuman pidana penjara. Menjadi pertanyaan, alasan polisi menahan pelaku di tingkat penyidikan? Bagi Rifqi hal tersebut menjadi kultur penegakan hukum, seperti polisi memerlukan waktu menyidik

“Agar pelaku tidak melarikan diri, polisi menggunakan pasal lain. Sebab, menggunakan pasal Tipiring, polisi tak dapat melakukan penahanan. Akhirnya hakim memutus dengan pasal di luar tipiring juga,” katanya. (sampe sini).

Persoalan pidana korporasi

Sementara penulis seputar isu kejahatan korporasi di sektor lingkungan, Mas Achmad Santosa menilai pertanggungjawaban pidana korporasi penting untuk melindungi hak asasi manusia (HAM) dan hak alam. Ada tiga hal yang perlu menjadi perhatian. Pertama, tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan korporasi berdampak serius terhadap kerugian negara, kerugian ekonomi masyarakat yang menjadi korban. Kemudian merugikan keselamatan dan kesehatan jiwa manusia, hilangnya sumber daya alam, dan ekosistem bagi ketahanan alam serta ciri khas bangsa.

“Ini penting untuk melindungi kepentingan HAM. Contoh pembakaran hutan yang berakibat pada kesehatan manusia, merugikan negara tetangga, dan berkontribusi terhadap buruknya kualitas udara,” kata Mas Ahmad Santosa.

Kedua, pencurian sumber daya ikan yang dilakukan secara masif, sistematis, dan eksploitatif.  Dampaknya menipisnya pasokan ikan dan sumber ketahanan pangan yang berujung merugikan negara dalam jumlah besar. Ketiga, pembuangan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang mengancam kesehatan jiwa dan kerugian negara. Sifat dampak kejahatan lingkungan ini bersifat laten. Saat pencemaran lingkungan terjadi, dampaknya baru bisa dirasakan 10 tahun kemudian.

“Itu kenapa pertanggungjawaban pidana korporasi diperlukan di sektor lingkungan hidup,” ujar Pria yang akrab disapa Ota ini.

Menurut Ota, praktik penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi di Indonesia terdapat beberapa permasalahan. Pertama, belum semua peraturan perundang-undangan mengatur konsep corporate crime liability (CCL). Terlebih, KUHP belum mengatur pertanggungjawaban pidana korporasi. Kedua, peraturan perundang-undangan telah mengatur tanggung jawab pidana korporasi dengan mengadopsi CCL, tapi tak seragam. Seperti UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan yang diubah dengan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Ketiga, KUHAP belum memberikan petunjuk komprehensif tentang bagaimana CCL dapat diimplementasikan.

Tags:

Berita Terkait