Problematik Sistem Pemidanaan Tipiring dan Korporasi
Utama

Problematik Sistem Pemidanaan Tipiring dan Korporasi

Prof Topo menyarankan kajian soal ketidakakuratan sistem pemidanaan dan sistem pemasyarakatan menarik dibahas dalam buku Crime and Punishment in Indonesia. Apalagi soal tindak pidana dengan pemidanaan minimum (tipiring) di berbagai peraturan masih mengundang persoalan over kapasitas Lapas dan Rutan di Indonesia.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit

“Rata-rata hukuman (tergolong, red) tidak rendah. Sekitar 7,6 bulan penjara. Jadi ini jauh dari pidana maksimum 3 bulan penjara yang seharusnya dijatuhi pada kejahatan Tipiring (sebagaimana amanat Perma 2/2012),” paparnya.

Misalnya, pelaku pencurian tas seharga Rp1,5 juta dan dituntut 18 bulan. Hukuman pidana yang dijatuhkan majelis hakim pun sesuai tuntutan penuntut umum, 18 bulan penjara. Ada pula pelaku pencuran ban dengan nilai kerugian Rp300 ribu. Jaksa pun menuntut 6 bulan penjara dan majelis hakim mengganjar hukuman pelaku selama 4 bulan penjara. Hukuman tersebut boleh dibilang tetap berada di atas batas maksimal hukuman kasus Tipiring.

Dia membandingkan dengan beberapa putusan di pengadilan Jakarta dan Bandung, nyaris tak terdapat perkara yang diputus dengan pasal Tipiring, seolah Perma 2/2012 tak berlaku. Sementara beberapa putusan pengadilan di Sumatera terdapat 30-40 putusan perkara pencurian kelapa sawit diputus dengan pasal Tipiring sesuai dengan Perma 2/2012. Dengan begitu, peneliti senior Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) itu menilai terdapat perbedaan praktik penghukuman antara pengadilan di Jakarta dengan kota lainnya terkait penghukuman perkara Tipiring.

Secara random, mayoritas pelaku diputus pidana percobaan. Mereka dituntut pasal tipiring dihukum percobaan. Bila jaksa menuntut dengan pasal Tipiring, hakim bakal memvonis hukuman percobaan. Temuan lain, mayoritas pelaku Tipiring diganjar hukum pidana penjara. Dan biasanya, dalam proses penyidikan pelakunya telah ditahan di kepolisian atau Kejaksaan dan sebagian besar pelaku dijerat tidak menggunakan pasal Tipiring.

“Untungnya, biasanya kasus-kasus demikian meski dihukum penjara, lamanya hukuman dekat dengan lamanya penahanan yang dilalui pelaku.”

Menariknya, ada sebagian hakim berani membebaskan terdakwa lantaran jaksa salah menuntut. Misalnya, semestinya dituntut dengan Tipiring, malah menuntut perkara tindak pidana biasa. Ada pula hakim yang berani menghukum di luar tuntutan jaksa dengan menggunakan Tipiring. Dia menilai sebuah perkara yang diproses sebelum persidangan amat berpengaruh dengan putusan majelis hakim.

“Jadi bagaimana polisi menyidik ditahan atau tidak, bagaimna jaksa menuntut dengan tipiring atau tidak, itu menentukan putusan hakim. Jadi pengaruh proses penyidikan dan penuntutan itu mempengaruhi hukuman pidana,” lanjutnya.

Tags:

Berita Terkait