‘Potret’ Ketua MA dari Masa ke Masa
73 Tahun MA:

‘Potret’ Ketua MA dari Masa ke Masa

Mengurai sekelumit kiprah ketua MA mulai awal kemerdekaan (orde lama), zaman orde baru, masa reformasi, hingga saat ini.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

Dalam SEMA itu, Soerjadi memberi pilihan kepada hakim-hakim tersebut untuk tetap menjadi hakim atau berkiprah jalur politik. Istilah yang digunakan dalam SEMA itu adalah menerima pengangkatan “menjalankan kewajiban negara”. Bila hakim tersebut memilih opsi ini, maka ia harus melewati jabatan Ketua Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan Tinggi, dan MA (hakim agung), lalu mengajukan permohonan kepada Menteri Kehakiman untuk diberhentikan dari pekerjaannya selama “menjalankan kewajiban negara” itu.

 

Di era ini, Soerjadi juga harus dihadapkan pada fakta kedudukan para hakim atau Ketua Pengadilan yang menjadi penasehat hukum Panca Tunggal, tim penasihat Presiden Soekarno. Dalam SEMA yang dikeluarkannya, ia menyatakan hakim-hakim itu tak perlu mundur dari jabatannya sebagai hakim. Mereka hanya diinstruksikan tidak turut serta memecahkan masalah dalam Panca Tunggal dan/atau memberikan nasehat hukum mengenai sesuatu masalah yang dapat diperkirakan akan menjadi perkara di muka pengadilan.

 

Pada 1966, Soerjadi juga mengeluarkan SEMA yang mengharuskan hakim menggunakan toga dalam persidangan. SEMA ini merupakan aspirasi dari para hakim yang merasa toga merupakan salah satu alat yang bisa menambah suasana khidmat dalam sidang-sidang pengadilan. Di luar sidang, hakim tetap mengenakan pakaian seragam yang kala itu ditetapkan oleh Panitia Perencanaan Pemakaian Seragam yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman.

 

Soerjadi, kata Pompe, adalah orang yang tegas dalam memegang dan menjalankan prinsip. Sesuai hasil wawancara Pompe dengan majalah Gatra, Soerjadi kabarnya paling anti jika MA dimasuki golongan tertentu dari kalangan ABRI dan orang nonhakim. Susunan MA kala itu, terbagi dua majelis perkara. Perkara yang masuk ke MA sekitar 20 perkara perdata setiap bulannya. Sedangkan 15 perkara pidana setiap bulannya. Rata-rata, 6 perkara perdata diputus setiap bulannya dan untuk 9 perkara pidana diputus setiap bulannya.

 

Tongkat kepemimpinan MA selanjutnya beralih ke tangan Soebekti. Bustanul Arifin, mantan hakim agung kepada VHR mengatakan periode kepemimpinan Soebekti (Agustus 1968-Januari 1974) adalah periode keemasan MA. Saat itu, kata Bustanul, tak ada para pihak berperkara yang mendatangi gedung MA. Hal ini karena pada saat itu tak ada perkara yang menunggak di MA. Perkara di MA paling lama tiga minggu sudah diputus, kata Bustanul.

 

Pompe juga memuji habis pria yang pernah menjadi Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) selepas pensiun dari hakim agung, pada 1977. Soebekti, kata Pompe, adalah Ketua MA yang paling lurus dan jujur. Pada masa Soebekti, lahirlah UU No 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai pengganti UU No 19 Tahun 1964. UU 14/1970 upaya meluruskan kembali kekuasaan kehakiman dari campur tangan kekuasaan pemerintah. Hal itu ditegaskan dalam bagian konsideran dan penjelasan umum UU 14/1970.

 

Meski demikian, sebenarnya posisi kekuasaan kehakiman di rezim kepemimpinan Soeharto ini belum sepenuhnya pulih. Sebab, kekuasaan kehakiman saat itu masih berada di dua atap. Wewenang teknis yudisial tetap berada di MA), tapi wewenang administrasi, organisasi, dan finansial, berada pada pemerintah (eksekutif) melalui Departemen Kehakiman.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait