‘Potret’ Ketua MA dari Masa ke Masa
73 Tahun MA:

‘Potret’ Ketua MA dari Masa ke Masa

Mengurai sekelumit kiprah ketua MA mulai awal kemerdekaan (orde lama), zaman orde baru, masa reformasi, hingga saat ini.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

Praktik pemilihan Ketua MA selanjutnya seolah menegasikan prinsip hidup seorang Kusumah Atmadja. Pasalnya, saat itu pemilihan Ketua MA dilakukan berdasarkan “kompromi” eksekutif dan legislatif. DPR mencalonkan beberapa nama, presiden yang memilih dan mengangkatnya. Pada masa itu seolah yudikatif berada di bawah “ketiak” eksekutif dan legislatif.

 

Lalu, Wirjono Prodjodikoro menjadi Ketua MA periode 1952-1966. Ia dipilih dan diangkat Presiden Soekarno setelah sebelumnya dicalonkan DPR. Dalam buku Sejarah Mahkamah Agung (Mahkamah Agung: Penerbit Mahkamah Agung. 1992, hal 6-27), penyelesaian perkara waktu itu sudah mulai mengenal pembidangan. Seperti, bidang perdata dipimpin oleh Ketua MA sendiri dan sekaligus memimpin sidang-sidang lain. Sedangkan, para hakim agung tetap memeriksa baik perkara perdata maupun pidana. Ketika itu, susunan majelis hanya ada satu. Perkara yang masuk tidak terlalu banyak, yang duduk sebagai ketua majelis dilakukan secara bergantian antara ketua dan wakil ketua MA.

 

Pada masa kepemimpinan Wirjono lahir UU No 19 Tahun 1964 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 19 UU itu merumuskan, “Demi kepentingan revolusi, kehormatan Negara dan Bangsa atau kepentingan masyarakat yang sangat mendesak, Presiden dapat turut atau campur-tangan dalam soal-soal pengadilan.” Undang-undang ini semakin menegaskan posisi subordinasi MA di bawah pemerintah.

 

Buktinya, Ketua MA masuk ke dalam kabinet Dwikora I (Agustus 1964-Februari 1966). Saat itu, Wirjono diberi jabatan Menteri Koordinator untuk Kompartemen Hukum dan Dalam Negeri, Kejaksaan Agung, Departemen Kehakiman. Intinya, di bawah Presiden Soekarno, kedudukan MA tidak lagi sesuai dengan kehendak Pasal 24 UUD 1945 yaitu sebagai lembaga tertinggi/pemegang kekuasaan kehakiman tertinggi.

 

Meski berada di bawah kekuasaan eksekutif dan legislatif, Ketua MA dan hakim agung di masa Orde Lama dikenal sebagai orang yang terbebas dari korupsi (suap) dalam hal penanganan perkara. Hal ini berlangsung sampai tahun 1970-an. Demikian pandangan Sebastiaan Pompe sebagaimana tertuang dalam bukunya itu. Pompe mencontohkan, Wirjono lebih memilih menyewakan mobil dinasnya sebagai taksi. Boleh jadi itu dilakukan untuk mendapat penghasilan tambahan yang halal. Maklum, kala itu kabarnya gaji hakim terbilang kecil.

 

Orde Baru

Soerjadi adalah Ketua MA berikutnya setelah menggantikan Wirjono. Masa jabatannya hanya dua tahun, sejak Juni 1966 sampai Agustus 1968. Saat itu, penguasa orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto menghendaki UUD 1945 dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Alhasil, MA dikembalikan dalam kedudukan semula sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah.

 

Namun, MA di bawah kepemimpinan Soerjadi harus menerima kenyataan beberapa hakim yang berencana terjun ke dunia politik. Beberapa hakim akan berkiprah sebagai anggota Majelis Permusyaratan Rakyat Sementara (MPRS). Ia pun mengeluarkan SEMA No. 2 Tahun 1967 tentang Hakim yang akan duduk dalam suatu Dewan Pemerintahan di Pusat dan Daerah.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait