‘Potret’ Ketua MA dari Masa ke Masa
73 Tahun MA:

‘Potret’ Ketua MA dari Masa ke Masa

Mengurai sekelumit kiprah ketua MA mulai awal kemerdekaan (orde lama), zaman orde baru, masa reformasi, hingga saat ini.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

Selama menempati lahan di Jalan Lapangan Banteng No. 1 Jakarta, kepemimpinan MA sudah berganti enam kali dimulai Mr. Dr. Kusumah Atmadja-Mr R. Satochid Kartanegara (1946-1950); Prof. Mr. Wirjono Prodjodikoro-Mr R. Satochid Kartanegara (1952-1966); Soerjadi, S.H. dan Prof. Mr. Soebekti (1966-1968); Prof. Mr. Soebekti-M. Abdurrachman, S.H. (1968-1974); Prof. Oemar Seno Adji-Dr. R. Santoso Poedjosoebroto, S.H. (1974-1981); Letjen (Purn) Mudjono, S.H.-Purwoto Suhadi Gandasubrata, S.H. (1981-1984).

 

Kemudian, MA resmi “hijrah” menempati gedung di Jalan Medan Merdeka Utara Jakarta saat Ketua MA dijabat Letjen TNI (Purn) Ali Said dan wakilnya Purwoto Suhadi Gandasubrata (1984-1992) pada 1989 hingga saat ini. Lalu, kepemimpinan MA dilanjutkan oleh Purwoto Suhadi Gandasubrata S.H (1992-1994); HR. Soerjono S.H. (1994-1996); Sarwata S.H (1996-2000); Prof Bagir Manan (2001-2006 dan 2006-2008); Dr. Harifin A. Tumpa, S.H. (2008-2009 dan 2009-2012); dan Prof M. Hatta Ali, S.H. (2012-2017 dan 2017–sekarang). Baca Juga: Dari Warisan Kolonial ke Tanah Bekas

 

Hukumonline.com

 

Orde Lama

Masa kepemimpinan Kusumah Atmadja di awal kemerdekan hingga masa Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 17 Agustus 1950. Pada masa ini, hubungan badan peradilan dengan kepemimpinan negara penuh gejolak. Hal ini diperparah dengan kecurigaan adanya campur tangan lebih penguasa republik dan tentara-tentara muda mulai memberi instruksi kepada para hakim mengenai perkara harus diputus dan hukuman yang dijatuhkan.

 

Perkara tersebut dikenal dengan nama perkara Sudarsono, yang timbul dari percobaan kudeta dan penculikan Perdana Menteri Sjahrir tahun 1946 oleh tentara yang kecewa dan didukung beberapa tokoh politik. Namun, percobaan tersebut gagal dan para pemuka/tokoh yang terlibat diadili. Adanya tekanan dari orang nomor satu saat itu membuat Kusumah Atmadja menentang tekanan yang diperolehnya dan mengancamkan akan mundur dari jabatannya. Sebab, menurut Kusumah, lembaga mandiri (MA) harus tetap bebas dari campur tangan politik.

 

Pada masa ini, Kejaksaan Agung satu atap dengan MA, bahkan bersama-sama dengan Departemen Kehakiman. MA, kala itu tidak terbagi dalam majelis-majelis. Semua hakim agung ikut memeriksa dan memutus perkara baik perkara perdata maupun perkara pidana yang jumlahnya masih sedikit. Hal ini seperti dipaparkan Sebastian Pompe, peneliti Belanda yang dituangkan dalam bukunya Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung (Sebastian Pompe. Jakarta: Penerbit Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, 2012).

 

Di tengah kuatnya intervensi kekuasaan pemerintah terhadap badan peradilan, Majalah Tempo sempat menurunkan tulisan yang menceritakan bagaimana kewibawaan MA hendak ditunjukan di masa Kusumah Atmadja. Ceritanya memang sepele. Berawal dari satu kesempatan jamuan makan malam, Kusumah Atmadja sempat mengeluarkan kata-kata pedas ketika Soekarno yang datang terlambat, tak mau duduk di sampingnya. Setelah puas, Kusumah Atmadja ngeloyor pergi.

 

Masih di tulisan yang sama, Benjamin Mangkoedilaga yang juga mantan hakim agung, memahami sikap Kusumah Atmadja. Ya, Ketua MA kan yang mengangkat sumpah jabatan seorang presiden. Wajar kalau dia semestinya ditempatkan lebih tinggi dan dihormati, kata Benjamin. Intinya, Kusumah Atmadja tak mau MA diposisikan lebih rendah dari Presiden. Kepemimpinan Kusumah Atmadja berakhir pada 1952 karena meninggal dunia.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait