Poligami, Masalah Krusial dalam Revisi Undang-undang Perkawinan
Berita

Poligami, Masalah Krusial dalam Revisi Undang-undang Perkawinan

Hajatan mewah Poligami Award yang digelar oleh seorang pengusaha rumah makan beberapa waktu lalu kembali memicu perdebatan lama seputar masalah "satu pria banyak isteri". Kelompok masyarakat yang diidentikan sebagai kaum feminis yang memperjuangkan hak-hak perempuan bereaksi keras. Mereka menuding Undang-undang Perkawinan adalah biang keladi di balik maraknya poligami.

Amrie Hakim
Bacaan 2 Menit

 

Koordinator Divisi Kajian dan Kebijakan LBH-APIK Ratna Batara Munti menulis bahwa meskipun Undang-undang Perkawinan dimaksudkan untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan, namun bila melihat dari substansi pasal-pasalnya, terdapat ambivalensi yang cukup mendasar dan kembali mempertegas subordinasi perempuan (isteri) terhadap laki-laki (suami).

 

Di satu sisi misalnya, ujar Ratna, Pasal 31 ayat (2) menjelaskan adanya kapasitas dan kemampuan yang sama antara perempuan dan laki-laki baik dalam mengelola rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Mereka juga sama-sama berhak melakukan perbuatan hukum.

 

Namun, di dalam Pasal 31 ayat (3) Ratna melihat ketentuan yang mendudukkan laki-laki sebagai sentral figur keluarga, yaitu sebagai kepala rumah tangga. Selain itu mengukuhkan stereotype peran seksual perempuan sebagai pekerja domestik. Lewat Undang-undang Perkawinan jugalah privelese seksual laki-laki untuk menikahi perempuan lebih dari satu, dilegitimasi dan diatur.

 

Pro kontra Poligami

Masalah poligami memang menjadi salah satu titik sentral kritik kaum feminis terhadap Undang-undang Perkawinan. Nursyahbani Katjasungkana, Koordinator Kaulan Perempuan, berpendapat bahwa poligami adalah tindak kekerasan dan mengakibatkan ketidakadilan tidak saja bagi perempuan, namun juga bagi anak-anak.

 

Nursyahbani menilai para pelaku poligami telah membelokkan makna ayat-ayat suci sesuai dengan kepentingannya sebagi pembenaran atas kesewenangan pemenuhan nafsu seksualnya. "Tidak ada satupun alasan yang cukup untuk membiarkan poligami di negeri ini. Bahkan ketika para pelaku poligami, tukang kawin itu, menggunakan ayat-ayat suci sebagai pembenaran atas tindakannya, kenyataan menunjukkan bahwa mereka mengedepankan nafsu belaka," tegasnya.

 

Sementara, fakta yang disajikan LBH-APIK terkait dengan praktek poligami menunjukkan bahwa dari 58 kasus poligami yang didampingi LBH-APIK selama kurun 2001 sampai Juli 2003 memperlihatkan bentuk-bentuk kekerasan terhadap istri-istri dan anak-anak mereka, mulai dari tekanan psikis, penganiayaan fisik, penelantaran istri dan anak-anak, ancaman dan teror serta pengabaian hak seksual istri. Selain itu, banyak poligami dilakukan tanpa alasan yang jelas (35 kasus).

 

Poligami sebenarnya masih menjadi perdebatan alot di kalangan agamawan sendiri, khususnya di lingkungan Islam. Maria Ulfah Anshor, Ketua Umum PP Fatayat NU, misalnya. Ia berpendapat bahwa poligami seharusnya tidak dimasukkan dalam Bab I UUP tentang Dasar Perkawinan karena poligami bukan prinsip dasar perkawinan maupun prinsip dasar syar'iyah.

Tags: