Poligami, Masalah Krusial dalam Revisi Undang-undang Perkawinan
Berita

Poligami, Masalah Krusial dalam Revisi Undang-undang Perkawinan

Hajatan mewah Poligami Award yang digelar oleh seorang pengusaha rumah makan beberapa waktu lalu kembali memicu perdebatan lama seputar masalah "satu pria banyak isteri". Kelompok masyarakat yang diidentikan sebagai kaum feminis yang memperjuangkan hak-hak perempuan bereaksi keras. Mereka menuding Undang-undang Perkawinan adalah biang keladi di balik maraknya poligami.

Amrie Hakim
Bacaan 2 Menit

 

"Poligami sebagai pengecualian yang amat sangat darurat dan harus diatur dalam pasal tersendiri lengkap dengan sanksi hukumnya," tulis Maria, Sekretaris Eksekutif Puan Amal Hayati, di Kompas.com, 13 Oktober lalu.

 

Sebaliknya, ahli fikih lulusan Universitas Al-Azhar Mesir Prof. Huzaemah Tahido Yanggo menyatakan bahwa poligami sesuai syariat Islam. Menurutnya, hak poligami bagi suami telah dikompensasi dengan hak isteri untuk menuntut pembatalan akad nikah dengan jalan khulu' yaitu ketika sang suami berbuat semena-mena terhadap isterinya.

 

"… yang jelas Islam membolehkan adanya poligami, dengan syarat adil. Syarat adil ini merupakan suatu penghormatan kepada wanita bila tidak dipenuhi akan mendatangkan dosa. Kalau suami tidak berlaku adil kepada isterinya, berarti ia tidak mu'asyarah bi al-ma'ruf kepada isterinya, sebagaimana diperintahkan Allah dalam Al-Quran Surat An-Nisa' ayat 19," tulis Huzaemah dalam "Poligami dalam Hukum Islam".

 

Dalam Undang-undang Perkawinan, poligami merupakan pengecualian dari asas perkawinan yang monogami. Poligami merupakan pintu darurat yang hanya bisa ditempuh jika dipenuhi sejumlah syarat yang diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-undang Perkawinan.

 

Syarat poligami dalam Pasal 4: "suami wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya dan pengadilan memberikan izin apabila: a) istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; b) istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c) istri tidak dapat melahirkan keturunan."

 

Syarat lain poligami dalam Pasal 5 : "a) adanya persetujuan dari istri/istri-istri; b) adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka; c) adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka".

 

Terkait syarat-syarat poligami, Neng lebih mengikuti pendapat dari Hazairin atas dasar penafsiran terhadap al-Quran IV ayat 3 dan al-Quran IV ayat 127. "Prof. Hazairin itu tafsirannya kalau yang dipoligami itu bukan gadis, tapi janda yang punya anak yatim. Itu yang saya ikuti. Bukan gadis. Bukan anak yatimnya. Tetapi ibu dari anak yatim," tegasnya.

 

Pasal-Pasal Krusial

Seperti disinggung di atas, masih ada beberapa pasal lainnya dalam Undang-undang Perkawinan yang dianggap mengukuhkan subordinasi perempuan, yaitu Pasal 31 ayat (3) bahwa suami kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga. Atau, Pasal 2 ayat (2) tentang pencatatan perkawinan. Pasal-pasal itulah yang diajukan perubahannya baik oleh Kowani, Kementrian Negara PP, maupun LBH-APIK.

 

Pihak LBH-APIK sendiri mengusulkan perubahan terhadap sembilan pasal Undang-undang Perkawinan yaitu Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 11, Pasal 31, Pasal 34, dan Pasal 43. Informasi selengkapnya mengenai pasal-pasal Undang-undang Perkawinan yang diusulkan untuk diamandemen oleh LBH-APIH disertai argumen-argumennya pasal per pasal, silahkan klik hyperlink berikut: Usulan Amandemen UU Perkawinan No.1 Tahun 1974.

 

Di pihak lain, Neng sendiri menegaskan bahwa MUI Pusat maupun dirinya pribadi cenderung untuk mempertahankan Undang-undang Perkawinan yang masih berlaku hingga kini. Ia memandang, para pengusul revisi hanya memandang perkawinan tidak dari kaca mata agama. Hal tersebut dilihat dari pasal-pasal yang diusulkan untuk diubah adalah yang menyangkut hak dan harta keduniawiaan semata. "Mereka terlupa hidup itu tidak hanya di dunia," cetusnya.

 

Apapun pendirian yang dikemukakan oleh kedua belah pihak, semuanya layak untuk dihargai. Dalam Islam pun dikenal bahwa perbedaan pendapat (ikhtilaf) di tengah-tengah masyarakat merupakan tanda kasih sayang Allah SWT. Tugas masing-masing warga masyarakat adalah menjaga agar diskusi itu berjalan dengan sehat dan sesuai koridor hukum. Dan, Undang-undang Perkawinan yang saat ini masih berlaku, wajib untuk dihormati semua orang, sampai kelak ada undang-undang lain yang menggantikannya.

Tags: