Poligami, Masalah Krusial dalam Revisi Undang-undang Perkawinan
Berita

Poligami, Masalah Krusial dalam Revisi Undang-undang Perkawinan

Hajatan mewah Poligami Award yang digelar oleh seorang pengusaha rumah makan beberapa waktu lalu kembali memicu perdebatan lama seputar masalah "satu pria banyak isteri". Kelompok masyarakat yang diidentikan sebagai kaum feminis yang memperjuangkan hak-hak perempuan bereaksi keras. Mereka menuding Undang-undang Perkawinan adalah biang keladi di balik maraknya poligami.

Amrie Hakim
Bacaan 2 Menit

 

Pandangan Neng mengenai perubahan UUP agaknya tidak lepas dari panjang dan beratnya pembahasan RUU Perkawinan di DPR 30 tahun silam. Pembahasan RUU Perkawinan di DPR kala itu menjadi polemik yang panas di berbagai media massa.

 

Panasnya polemik yang berkembang di tengah pembahasan RUU Perkawinan di penghujung 1973 tercermin dalam salah satu artikel yang ditulis oleh alm. Prof. Dr. MR Hazairin, pakar hukum Islam dan hukum adat. Dalam artikel "Beberapa Komentar atas RUU Perkawinan" yang dimuat di Harian KAMI pada 18 September 1973, Hazairin mengingatkan para anggota DPR untuk berhati-hati dalam membahas RUU tersebut, khususnya terkait soal ketentuan tentang masa iddah bagi isteri yang ditinggal mati suaminya. Berikut petikannya:

 

"Anggota-anggota DPR yang beragama Islam dan sekarang menghadapi Rancangan Undang-undang Perkawinan yang mengandung pasal-pasal yang bertentangan dengan hukum Qur'an seperti dengan Q.9 : 37 itu dan menerima baik pelanggaran yang besar itu, samalah dengan menjadikan dirinya sebagai orang-orang yang mengabaikan imannya dan taqwanya kepada Allah dengan dan karena mengobah atau menyelewengkan (tujuan dan maksud) ayat-ayat Qur-an. Maka sekurang-kurangnya akan menjadi fasik! Lihat Q.33 : 36 dan sanctumnya Q.4 : 14…". (Dikutip dari buku Hukum Kekeluargaan Indonesia karya Sayuti Thalib, terbitan Penerbit Universitas Indonesia, 1986).

 

Setelah melalui pembahasan alot, DPR akhirnya mengesahkan RUU tersebut menjadi UUP. Diundangkan pada 2 Januari 1974, UUP dipandang sebagai kemenangan umat Islam dalam memperjuangkan kaidah-kaidah Islam masuk ke dalam hukum positif di bidang kekeluargaan. Hal tersebut dapat disimak dari pernyataan Hazairin dalam salah satu tulisannya:

 

"Walaupun Undang-undang Perkawinan No.1/1974 itu nampaknya belum sempurna, akan tetapi telah mencukupi kiranya bagi memenuhi kepentingan-kepentingan pokok yang dihadapi sekarang ini dan sungguh merupakan suatu ijtihad baru. Tinggalah kewajiban pecinta agama Islam untuk lebih menerapkan kehendak al-Quran dan Sunnah dalam penyusunan peraturan-peraturan pelaksanaannya."

 

Dengan sejarah pembentukan Undang-undang Perkawinan yang sedemikian rupa, di mata Neng upaya-upaya untuk merevisi Undang-undang tersebut mengarah pada upaya untuk menjauhkan umat Islam dari agamanya. "Karena kalau dilihat dari sisi hukum Islam, sudah jelas usulan-usulan seperti itu tidak sesuai. Itu membawa kita akhirnya ke teori receptie, membuat orang tidak patuh pada ajaran Islam untuk orang yang beragama Islam," cetus pengajar hukum Islam di FH-UI itu.

 

Terlepas dari penilaian tersebut, baik Kowani, Kementerian Negara PP, maupun LBH-APIK masing-masing menyatakan bahwa semangat revisi Undang-undang Perkawinan dilandaskan pada penolakan pengukuhan sub-ordinasi perempuan dalam sejumlah pasal.

Tags: