Polemik dan Dinamika Pilkada di Indonesia: Refleksi di Era Reformasi
Kolom

Polemik dan Dinamika Pilkada di Indonesia: Refleksi di Era Reformasi

Jika ditelaah lebih dalam, UU yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah, bahkan UU pemilihan presiden dan wakil presiden, terdapat beberapa hal persoalan.

Bacaan 2 Menit

 

Di tahun 2018 ini pilkada semakin panas, karena menjelang tahun politik nasional 2019. Pada akhir tahapan pencalonan pilkada serentak 2018 ini, kita dikejutkan dengan pemberitaan adanya “mahar politik” yang sangat mahal, hanya untuk menjadi calon. Belum tentu terpilih dan menang. Lalu seperti apa solusinya? Apakah paslon dari jalur perseorangan adalah bagian dari kedaulatan rakyat dalam mendorong pilihan alternatif? Atau hal ini juga bagian dari skema elit yang tidak mendapat dukungan parpol sehingga menggunakan jalur perseorangan? Pastinya, demokrasi kita hari ini masih memiliki masalah dalam sistem rekruitmen kepemimpinan!

 

Terlepas dari skema dan mekanisme pencalonan di atas, yang terpenting adalah bagaimana mendorong UU yang menjadi landasan dalam pelaksanaan rekruitmen kepemimpinan di negeri ini juga mengatur tentang kualifikasi kandidat sebagai syarat yang terukur. Sehingga hasil dari pemilu setidaknya adalah pemimpin yang memiliki kualifikasi yang sesuai dan dapat bekerja secara efektif. Sehingga tujuan dari otonomi daerah dapat tercapai.

 

UU yang selama ini ada, dalam kontestasi perebutan kursi kepemimpinan di daerah bahkan di pusat, hanya berkutat pada aturan sistem pemilihan (proporsional tertutup/terbuka, sistem penghitungan kursi, pembagian dapil, dll), tahapan pelaksanaan pemilu (tentang pendaftaran (sejak awal) hingga pelantikan kandidat terpilih), organisasi penyelenggara (tentang struktur, tugas, wewengan dan tanggung jawab KPU, Bawaslu, DKPP) dan penegakan hukum (jika terjadi sengketa pemilu). Belum diatur secara spesifik terkait dengan kriteria ideal dalam hal kecakapan dan kemampuan yang harus dimiliki kandidat. Sepertinya hal ini harus menjadi catatan penting dalam mendorong solusi dari berbagai permasalahan di atas.

 

Mungkinkah bisa kita akhiri cerita tentang calon yang muncul hanya karena mendapatkan dukungan dari incumbent? Karena incumbent adalah ayahnya, suaminya, kakaknya, mertuanya, iparnya, yang bisa mengkondisikan partai politik. Dan yang dicalonkan adalah anak yang baru lulus kuliah, tidak punya pengalaman, tidak memahami masalah, dll. Mungkinkah bisa kita akhiri cerita kotak kosong yang menjadi kontestan karena rekomendasi parpol sudah “diborong” calon bermodal besar? Ataukah hal ini akan terus berlanjut?! Wallahu a’lam...

 

*)Munandar Nugraha Saputra adalah dosen di Universitas Nasional.

 

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline

Tags:

Berita Terkait