Polemik dan Dinamika Pilkada di Indonesia: Refleksi di Era Reformasi
Kolom

Polemik dan Dinamika Pilkada di Indonesia: Refleksi di Era Reformasi

Jika ditelaah lebih dalam, UU yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah, bahkan UU pemilihan presiden dan wakil presiden, terdapat beberapa hal persoalan.

Bacaan 2 Menit

 

Pada 2014, 10 tahun pasca Pilkada langsung dilaksanakan memang banyak perdebatan atas tafsir ulang tentang UUD hasil amandemen terkait “kepala daerah yang dipilih secara demokratis”. Hasil evaluasi, pilkada langsung itu mahal, high cost. Belum lagi maraknya politik uang yang tidak bisa dipungkiri terjadi dalam setiap arena pilkada, yang secara tegak lurus hal itu berdampak pada banyaknya kepala daerah yang kemudian bermasalah dengan hukum, terutama kasus korupsi.

 

Perdebatan tersebut bukan tanpa dasar, bahkan sangat mendasar. Terkait dengan jiwa dan ruh kita dalam berbangsa dan bernegara, Pancasila sila keempat. Demokrasi perwakilan. Pun kemudian memunculkan lagi “opini dan tanya keresahan”, apakah ketika pilkada via DPRD politik uang tidak akan terjadi? Apakah dengan sistem itu akan menghasilkan pemimpin yang merakyat?

 

Euforia reformasi langsung menghempas dalam merespon UU tersebut. Atas dasar trauma dengan sistem perwakilan yang menghasilkan otoritarianisme orde baru dan pemimpin yang tidak merakyat, pilkada langsung masih terus mendapat dukungan. Karena banyak penolakan, hanya berselang dua hari, setelah Presiden SBY mengesahkan UU pilkada via DPRD, langsung terbit PERPU Nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota pada tanggal 2 Oktober 2014 yang juga disahkan oleh Presiden SBY. 18 hari sebelum pelantikan Presiden Jokowi.

 

Singkat cerita, pada masa Presiden Jokowi hari ini kita memiliki UU pilkada yang terakhir disahkan, yaitu UU No. 10 tahun 2016 yang mengatur tentang pilkada secara langsung dan serentak, puncaknya akan dilaksanakan Pilkada pada 2024 bersamaan dengan pemilu nasional.

 

Sebelumnya, diatur dalam UU No 1 Tahun 2015 tiga gelombang pilkada serentak di tahun 2015, 2017 dan 2018, maka untuk menuju pilkada serentak pada 2024, akan ada skema Plt kepala daerah setelah 5 tahun terpilih dari pilkada dalam tiga gelombang tersebut. Plt menjabat hingga pilkada serentak di 2024. Mungkinkah dengan langkah ini akan meminimalisir mahalnya biaya pilkada dan dapat memilih kepala daerah yang mumpuni? Akankah terselenggara pilkada yang Efisien dan efektif?

 

Pada 16 April 2015, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengungkapkan 63 kabupaten hasil pemekaran wilayah yang tersebar di seluruh Indonesia gagal menerapkan otonomi daerah. Akibatnya puluhan daerah tersebut justru membebani APBN. Dianggap gagal otonomi karena APBD nya habis hanya untuk belanja pegawai, sementara atas nama ingin mendorong dan mempercepat kesejahteraan rakyat melalui pelayanan publik yang efektif, upaya pemekaran daerah otonom baru masih terus berjalan dan menunggu momentum untuk ditetapkan.

 

Pada 4 Oktober 2016, Pemerintah (melalui Mendagri) resmi menolak pengajuan usulan 222 daerah otonomi baru di Indonesia. Pengetatan anggaran negara menjadi dasar penundaan pemekaran sejumlah wilayah itu. Sebelum kita coba menjawab beberapa pertanyaan di atas, penting untuk kita ingat kembali, bahwa tujuan dari otonomi daerah yang menjadi dasar pertimbangan lahirnya UU No. 32 tahun 2004 adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah 14 tahun otonomi daerah sudah berhasil mendorong percepatan kesejahteraan masyarakat di daerah?

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait