PLN Disjaya Didenda 2 Miliar
Berita

PLN Disjaya Didenda 2 Miliar

Terbukti melakukan persekongkolan, PLN Disjaya beserta beberapa perusahaan lain dikenai sanksi denda dan larangan mengikuti tender.

Sut
Bacaan 2 Menit

 

UU Nomor 5 Tahun 1999

Pasal 5

Ayat (1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.

 

Ayat (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi:

a. suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau

b. suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.

 

Pasal 19 huruf d

Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa:

d. melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.

 

Pasal 22

Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

 

 

Majelis Komisi yang diketuai Erwin Syahril menyatakan bahwa persekongkolan itu terbukti pada tender SKTM 20 kilovolt paket 4, 9, 20, dan 21 di PLN Disjaya untuk tahun anggaran 2005. Tender SKTM merupakan tender gabungan antara jasa kontruksi (galian dan instalasi kabel) yang nilai pekerjaannya hanya sekitar 20 persen dari total nilai proyek dan pengadaan kabel yang nilainya mencapai 80 persen. Pelaksanaan proyek itu dilakukan dengan 30 pabrik kabel, dan DPD Asosiasi Kontraktor Listrik Indonesia (DPD AKLI).

 

Menurut Erwin, PLN Disjaya sebagai penyelenggara tender telah keliru dalam menerapkan Surat Keputusan (SK) Direksi PLN ketika membuat persyaratan mengikuti tender. SK yang dimaksud Erwin adalah SK Direksi Nomor 100.K/010/DIR/2004 dan SK Direksi Nomor 200.K/010/DIR/2004 yang implementasinya diserahkan pada masing-masing General Manager PLN di setiap wilayah kerjaanya.

 

Salah satu persyaratan mengikuti tender adalah kewajiban bagi kontraktor untuk mendapatkan dukungan pabrik kabel atau membentuk konsorsium dengan menempatkan kontraktor sebagai leader dalam konsorsium. Padahal, bagian pekerjaan untuk kontraktor sangat kecil bila dibandingkan dengan pengadaan material utamanya. Ketentuan mengenai konsorsuim atau dukungan sesungguhnya tidak diatur dalam kedua SK Direksi PLN tersebut, ujar Erwin ketika membacakan putusan perkara Nomor 16/KPPU-L/2006, di Gedung KPPU Jakarta Pusat, Kamis (28/6).

 

Ketentuan tersebut, lanjut Erwin, digunakan oleh para pabrikan kabel, DPD AKLI dan para kontraktor untuk melakukan pengaturan-pengaturan yang merupakan suatu tindakan persekongkolan. Bentuk persekongkolan itu, diantaranya adalah pengaturan mendapatkan surat dukungan atau konsorsium sehingga tercipta suatu kondisi tiga penawar terendah dari paket 4, 20 dan 21 selalu dalam bentuk konsorsium dan bentuk dukungan berada peringkat keempat dan seterusnya.

 

Bentuk persekongkolan lainnya adalah pengaturan terhadap harga penawaran sehingga tidak ada peserta tender yang menawar melampaui Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Padahal, panitia tender tidak pernah mengumumkan besaran HPS untuk tiap paket pada saat rapat penjelasan tender (aanwijzing). Selain itu, persekongkolan juga terjadi dalam pengaturan terhadap jumlah pasokan kabel untuk tiap paket yang ditenderkan, sehingga masing-masing pabrikam memasok untuk jumlah yang relatif sama.

 

Hanya saja, kata Nawir Messi—salah satu anggota Majelis Komisi—persekongkolan tersebut tidak sepenuhnya berhasil dengan ditunjuknya PT Prima Beton sebagai pemenang di paket 9, sehingga ada beberapa pabrikan batal memasok kabel untuk paket 9. Dengan pertimbangan bisnis setelah mendapat persetujuan PLN Disjaya, PT Prima Beton akhirnya mengimpor kabel untuk melaksanakan tender tersebut, terang Nawir.

Tags: