PHI Tolak Praktik 'Outsourcing' di RS Pusat Pertamina
Berita

PHI Tolak Praktik 'Outsourcing' di RS Pusat Pertamina

Ketiadaan perjanjian pemborongan pekerjaan mengakibatkan hakim tidak mengkualifisir telah terjadi praktik outsourcing di RSPP. Namun hakim memerintahkan agar RSPP segera mengangkat status pekerja menjadi pekerja tetap karena para pekerja sudah menjalani pekerjaan secara terus menerus.

IHW
Bacaan 2 Menit

 

Dalam perjalanannya, FAPI memperjuangkan agar anggotanya segera diangkat menjadi pegawai tetap RSPP. Sebelumnya mereka merasa status ketenagakerjaan mereka tidak jelas. Tidak pernah ada perjanjian atau kesepakatan mengenai hubungan kerja kami, baik dengan RSPP maupun koperasi, kata Wesday Istiadi, Wakil Ketua FAPI kepada hukumonline sebelum persidangan.

 

Nyatanya, hingga kini pihak RSPP enggan mengangkat status para pekerja itu. Di sisi lain, Koperasi hanya berani memberikan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) untuk periode Januari hingga Desember 2006. Sebelum dan sesudah periode itu, para pekerja itu tidak dilindungi dengan perjanjian kerja. Keadaan ini sangat berbahaya ketika RSPP tidak lagi memakai jasa Koperasi, imbuh Wesday.

 

Benar saja. Setelah berulang kali menggelar unjuk rasa, perundingan secara bipartit hingga mediasi ke Disnaker DKI Jakarta, pihak RSPP dan Koperasi bergeming atas tuntutan pekerja. Ketika perselisihan mereka bergulir ke PHI Jakarta, RSPP ternyata sudah menjajaki kesepakatan baru dengan agen penyedia jasa pekerja lainnya. Resmi terhitung 1 Mei lalu kami menganggur karena kontrak RSPP dengan Koperasi berakhir. RSPP bekerja sama dengan PT SSS. Kami hanya dikasih uang tiga bulan gaji. Padahal rata-rata usia kerja kami adalah enam sampai delapan  tahun. Bahkan ada yang 16 tahun, tutur Wesday.

 

Tidak Ada Outsourcing

Sebelum disidangkan PHI, perkara ini diperiksa oleh mediator di Disnakertrans DKI Jakarta. Saat itu Disnakertrans menganjurkan agar RSPP maupun Pertamedika mengangkat status hubungan kerja  menjadi pegawai tetap dengan pertimbangan jenis pekerjaan yang dijalani para pekerja itu adalah bersifat tetap dan terus menerus.

 

Jika mediator Disnakertrans Jakarta sudah melihat adanya praktik outsourcing di RSPP, tidak demikian dengan hakim PHI. Hal itu terjadi karena, Tidak adanya bukti tentang perjanjian pemborongan pekerjaan sehingga pengalihan pekerjaan itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, kata Junaedi, anggota majelis hakim. Padahal pasal 65 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan tegas mengatur mengenai dibutuhkannya perjanjian tertulis ketika ada pengalihan pekerjaan.

 

Selain itu, majelis hakim juga mempertimbangkan ketentuan pasal 66 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang menyatakan pekerja outsourcing tidak boleh dipekerjakan dalam kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi. Pekerja outsourcing hanya boleh ditempatkan di kegiatan penunjang.

 

Lebih jauh pasal 6 Ayat (3) Kepmenakertrans No. 220 Tahun 2004 mengatur tentang kewajiban perusahaan pemberi kerja untuk melaporkan ke instansi ketenagakerjaan terkait perihal alur proses pelaksanaan pekerjaan dan pembedaan jenis pekerjaan yang pokok dengan yang penunjang. Sementara terungkap bahwa RSPP dan atau Pertamina Bina Medika tidak pernah melapor ke Disnakertrans untuk membedakan mana yang pekerjaan pokok, mana yang penunjang, sambung Junaedi.

Tags: