PHI, Kuburan Keadilan Bagi Buruh
Berita

PHI, Kuburan Keadilan Bagi Buruh

Segudang masalah di PHI tidak diimbangi dengan kemampuan buruh untuk beracara di persidangan.

IHW
Bacaan 2 Menit

 

Salah satu contohnya adalah tata cara pengajuan gugatan. Pasal 83 Ayat (1) UU PPHI sudah menegaskan, hakim PHI wajib mengembalikan gugatan kepada penggugat jika tidak dilampirkan risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi.

 

Faktanya, Indra Munaswar menuturkan adanya inkonsistensi hakim PHI dalam menafsirkan Pasal ini. Di PHI Jakarta dan PHI Serang cukup dilampirkan anjuran dari mediator atau konsiliator. Sedangkan PHI Bandung tetap membutuhkan risalah, ungkapnya. Perbedaan penafsiran ini bukannya tanpa resiko. Indra tak bisa membayangkan jika MA meng-NO-kan putusan PHI Jakarta atau Serang karena tidak melampirkan risalah.

 

Mahalnya Berperkara

Meski baru terbentuk, PHI ternyata berbakat mewarisi karakter dari saudara tuanya, yaitu Pengadilan Umum. Seperti kita mahfum bersama, berperkara di Pengadilan Umum (Negeri) membutuhkan biaya yang luar biasa. Bahkan, sampai muncul anekdot yang mengatakan, Memperkarakan kehilangan kambing di pengadilan. Sama saja dengan kehilangan seekor sapi.

 

Demikian pula di PHI. UU PPHI memang sudah menyatakan, perkara yang nilai tuntutannya di bawah Rp150 juta, dibebaskan dari biaya perkara. Namun, pada praktiknya, mereka tetap harus membayar biaya untuk mengikuti persidangan, leges, surat kuasa, legalisir bukti di pengadilan. Belum lagi 'uang sesajen' untuk keperluan pencatatan gugatan, tukas Indra.

 

Gindo Nadapdap mengungkapkan, berapa kocek yang minimal harus dikeluarkan buruh dari mulai mencatatkan gugatan hingga menerima salinan putusan di tingkat PHI. Paling tidak sekitar Rp750 ribu yang harus dikeluarkan buruh, ungkapnya.

 

Memecah Konsetrasi

Jamaludin, Ketua Masyarakat Bantuan Hukum (MBH) Jawa Timur, menengarai adanya upaya sistematis dari para pemilik modal melalui negara untuk memperlemah perjuangan buruh.

 

Buktinya, keberadaan UU PPHI ini memang menyita sebagian besar waktu para pengurus serikat pekerja (SP). Dalam seminggu, kami bisa bersidang sebanyak 4 kali di pengadilan yang berbeda, kata Jamal. Dengan demikian, waktu bagi aktivis SP semakin menipis untuk mengorganisir di tingkat basis.

Tags: