Perlunya Pengaturan Kepailitan dan PKPU Khusus untuk UMKM
Kolom

Perlunya Pengaturan Kepailitan dan PKPU Khusus untuk UMKM

UMKM berkontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional. Ada 64,2 juta UMKM di Indonesia yang merupakan 99,9% dari total populasi usaha, serta mempekerjakan 96,9% tenaga kerja.

Bacaan 8 Menit
Perlunya Pengaturan Kepailitan dan PKPU Khusus untuk UMKM
Hukumonline

World Bank Group (WBG) pernah menerbitkan laporan bahwa secara global Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) adalah pengguna terbesar dari sistem kepailitan. Fakta ini dirilis dalam publikasi bertajuk Report on the Treatment of MSME Insolvency di tahun 2017. Hal ini rupanya disebabkan oleh besarnya jumlah pelaku UMKM di dunia. Keberadaan jumlahnya yang besar dengan sendirinya mengakibatkan jumlah kepailitan yang juga besar. Namun, fakta lain menunjukkan sedikit sekali yurisdiksi mengatur khusus terkait kepailitan UMKM. Kebanyakan negara mengatur kepailitan UMKM dalam satu kerangka yang sama dengan korporasi atau individual, padahal ada atribusi khusus yang dimiliki UMKM.

WBG mencatat Korea Selatan dan Jepang sebagai dua negara yang memiliki rezim khusus tentang kepailitan dan restrukturisasi utang UMKM. Keduanya memiliki kerangka hukum khusus bagi kepailitan UMKM yang berbeda dari kepailitan secara umum. WBG juga mencatat bahwa negara-negara lain—seperti anggota Organization for the Harmonization of Business Laws in Africa (OHADA)—telah mengeliminasi beberapa persyaratan formil dalam menangani kepailitan UMKM. Negara lainnya—seperti India dan Amerika Serikat—juga telah menyesuaikan peraturan kepailitan mereka untuk mengakomodasi kekhususan UMKM.

Baca juga:

WBG lalu membangun argumen yang harus menjadi perhatian. Ternyata insentif bagi pembentukan dan pengembangan UMKM yang dituangkan dalam kebijakan publik banyak negara tidak disertai perlakuan khusus bagi UMKM menghadapi financial distress. Di sisi lain, kepailitan jalur normal terlalu mahal dan rumit bagi UMKM yang asetnya sedikit.

Kepailitan bagi UMKM di Indonesia

Rezim kepailitan dan restrukturisasi utang Indonesia diatur dalam UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan PKPU). UU Kepailitan dan PKPU ini keturunan langsung dari Verordening op het Failissement en de Surceance van Betaling voor de Europeanen in Nederlands Indie (Failissement Verordening/ Peraturan Kepailitan)—Staatsblad 1905 No.217 yang diubah Staatsblaad 1906 No.348—yang dikodifikasi dari Failissement Verordening Belanda tahun 1893 (FV 1893). Perlu dicatat, kerangka dasar kepailitan Indonesia saat ini pada dasarnya masih menggunakan kerangka yang sama dengan FV 1893.

UU Kepailitan dan PKPU mengatur bahwa semua jenis kreditur—terlepas dari jenis subjek hukumnya, ukuran usahanya, atau nilai utangnya—menjalani prosedur yang sama persis mulai dari tahapan, jangka waktu, hingga biaya. UU Kepailitan dan PKPU bahkan tidak memiliki fitur pengampunan utang (debt forgiveness), padahal ini sudah menjadi fitur umum bagi kepailitan individu/UMKM di banyak negara. Fitur ini memungkinkan debitur pailit yang beriktikad baik untuk memperoleh pengampunan utangnya dan bisa dipulihkan reputasinya. Mereka bisa kembali ke dunia usaha sebagai individu yang produktif.

Indonesia masih terjebak pada penafsiran Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata yang mengatur bahwa utang debitur akan hidup terus selama belum dilunasi. Pengampunan tersedia limitatif dengan cara eksplisit dari para kreditur bahwa mereka menerima pelunasan yang memuaskan. Pasal 216 UU Kepailitan dan PKPU pun menghambat rehabilitasi sebelum para kreditur menyatakan telah menerima pembayaran secara memuaskan. Artinya, pemenuhan pembayaran secara memuaskan bergantung kepada subjektifitas kreditur. Akibatnya adalah debitur enggan menggunakan instrumen kepailitan karena ketiadaan insentif penghapusan utang.

Tags:

Berita Terkait