Perlunya Pengaturan Kepailitan dan PKPU Khusus untuk UMKM
Kolom

Perlunya Pengaturan Kepailitan dan PKPU Khusus untuk UMKM

UMKM berkontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional. Ada 64,2 juta UMKM di Indonesia yang merupakan 99,9% dari total populasi usaha, serta mempekerjakan 96,9% tenaga kerja.

Bacaan 8 Menit

Belanda sendiri sudah mengembangkan FV menjadi tiga cabang sejak tahun 1998 lalu. Masing-masing adalah Kepailitan, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dan Pengampunan Utang bagi Individu (schudsaneringregeling voor naturlijke persoon). Cabang terakhir diatur dalam Titel III Pasal 284-382 yang khusus mengatur pengampunan utang bagi individu. Intinya pengampunan utang dapat diberikan setelah debitur menjalani masa tiga tahun pembayaran utang di bawah pengawasan pengadilan.

Belanda lebih jauh lagi mengembangkan sistem kepailitan keempat pada masa pandemi tahun 2020 dengan Undang-Undang Persetujuan Pengadilan Terhadap Rencana Perdamaian Court Approved Restructuring Plan Act (Wet Homologatie Onderhands Akkoord/ WHOA). Undang-undang ini memungkinkan pengadilan mengesahkan rencana perdamaian yang telah disepakati para pihak tanpa perlu prosedur gugatan. Sistem ini dalam rangka percepatan pemulihan di masa pandemi.

Di sisi lain, negara common law seperti Australia, Singapura, dan Amerika Serikat mengatur kepailitan korporasi secara berbeda dengan individu. Australia dan Singapura memang tidak punya ketentuan khusus tentang kepailitan UMKM, tapi ada klausul khusus dan jalur yang berbeda untuk kepailitan individu. Kepailitan perusahaan diatur pada UU Perseroan Terbatas mereka, sementara kepailitan individu diatur pada undang-undang khusus. Keduanya mengakomodasi karakter dan perbedaan antara badan hukum dengan natural person. Tentu saja cukup banyak natural person yang menjalankan usaha yang biasanya berskala UMKM.

Disfungsi Prosedur Kepailitan Indonesia

Penggunaan instrumen kepailitan di Indonesia sendiri sulit dipahami. Sektor Resolving Insolvency Indonesia berapa pada peringkat 38 dari 190 negara pada survei Ease of Doing Business (EoDB) terakhir tahun 2020. Strength of Legal Framework for Insolvency tercatat pada 10,5 dari maksimal 16 poin. Situasi ini sungguh baik karena menunjukkan keunggulan teknis kerangka hukum. Namun, apabila melihat statistik kepailitan Indonesia dalam data angka dari Mahkamah Agung per Oktober 2023 tidak demikian.

Jumlah pendaftaran perkara kepailitan secara berturut dari tahun 2016 sampai 2023 adalah 129 perkara (2016), 115 perkara (2017), 114 perkara (2018), 125 perkara (2019), 114 perkara (2020), 136 perkara (2021), 106 perkara (2022), dan 75 perkara (2023).

Jumlah pendaftaran perkara PKPU secara berturut dari tahun 2016 sampai 2023 adalah 199 perkara (2016), 239 perkara (2017), 297 perkara (2018), 435 perkara (2019), 635 perkara (2020), 726 perkara (2021), 572 perkara (2022), dan 560 perkara (2023).

Data rehabilitasi secara berturut dari tahun 2016 sampai 2021 adalah 0 perkara dan tidak ditemukan data pada tahun 2022 serta 2023. Data pembatalan perdamaian secara berturut secara berturut dari tahun 2016 sampai 2023 adalah 15 perkara (2016), 13 perkara (2017), 18 perkara (2018), 15 perkara (2019), 3 perkara (2020), 19 perkara (2021) serta tidak ditemukan data pada tahun 2022 dan 2023. Data pengakhiran kepailitan secara berturut dari tahun 2016 sampai 2021 adalah 0 perkara dan tidak ditemukan data pada tahun 2022 serta 2023.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait