Permohonan uji materil Pasal 222 UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) tengah diperjuangkan di Mahkamah Konstitusi. Hal yang dipersoalkan adalah syarat ambang batas suara di DPR untuk bisa mencalonkan Presiden (Presidential Threshold).
Dalam diskusi Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI), Kamis (12/7) di Kampus UI Salemba, Jakarta, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menjelaskan apa saja bahaya pengaturan ini. Sejumlah pandangan Titi dibenarkan oleh Ketua pertama Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie yang memberikan sambutan pembuka.
UU Pemilu diundangkan pada 15 Agustus 2017 dengan sejumlah ketentuan baru dibandingkan versi sebelumnya. Sejak saat itu, tercatat UU Pemilu ini sudah beberapa kali diuji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Kali ini, sejumlah tokoh dan organisasi masyarakat ramai-ramai mengujikan Pasal 222 UU Pemilu karena dianggap membahayakan demokrasi Indonesia. Para pemohon menilai ada pelanggaran konstitusional soal Presidential Threshold 20%. Ketentuan ini menurut mereka melanggar 3 pasal dalam konstitusi.
Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya. (Pasal 222 UU Pemilu) Pasal UUD 1945 yang dilanggar: Pasal 6 Ayat (1), Pasal 6 Ayat (2), Pasal 6A Ayat (1), Pasal 6A Ayat (2), Pasal 6A Ayat (3), Pasal 6A ayat (4), Pasal 6A ayat (5), Pasal 22E Ayat (1), Pasal 22E Ayat (2), Pasal 22E Ayat (6), dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Pasal 6
Pasal 6A
|
Yang dipersoalkan para pemohon adalah persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya untuk bisa mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden.
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menjelaskan bahwa Pasal 222 UU Pemilu membuat masyarakat tidak bisa memiliki pilihan calon Presiden berkualitas. “Ada intensi menciptakan calon tunggal, bukan lagi keragaman pilihan,” kata Titi.