Perludem Jelaskan 4 Bahaya Presidential Threshold 20% Bagi Indonesia
Berita

Perludem Jelaskan 4 Bahaya Presidential Threshold 20% Bagi Indonesia

Argumentasi pemohon menyatakan syarat Presidential Threshold 20% menghambat demokrasi dalam Pilpres 2019.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

 

Menurut Titi, soal keragaman pilihan calon Presiden dan Wakil Presiden sudah dikondisikan dalam UUD 1945. Partai-partai politik didorong melakukan koalisi secara alami untuk memenangkan suara secara merata dari seluruh provinsi di Indonesia. Bahkan desain konstitusi menghendaki adanya dua putaran Pemilu untuk menyeleksi pasangan calon dengan legitimasi kuat berdasarkan suara pemilih yang merata.

 

(Baca Juga: Tarik Ulur Ambang Batas Presidential Threshold dalam RUU Pemilu)

 

Titi juga melihat peluang transaksional antar partai politik dalam hal ini. Dorongan melakukan koalisi “asal-asalan” ini berpeluang memunculkan calon Presiden “boneka” hasil politik transaksional partai-partai politik. Ketentuan tersebut melahirkan koalisi semu hanya agar KPU mau menerima pendaftaran pasangan calon lainnya. “Partai yang suaranya lebih banyak bisa aja bilang, ‘ayo, kalau mau gabung wani piro’?”

 

Bahaya kedua, pada akhirnya UU Pemilu membenarkan calon Presiden tunggal. Hal ini dianggap bertentangan dengan konstitusi yang justru mengatur adanya dua putaran Pemilu. Konstitusi mengatur agar calon terpilih menang dengan proporsi suara merata dari seluruh provinsi di Indonesia.

 

Pasal 235 UU Pemilu

  1. Dalam hal telah dilaksanakan perpanjangan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) masih terdapat 1 (satu) Pasangan Calon, tahapan pelaksanaan Pemilu tetap dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.

 

“Ini memang politik tidak sehat yang diciptakan oleh pembuat undang-undang. Satu sisi konstitusi menginginkan adanya keragaman, tetapi ada pemaksaan ambang batas dengan semena-mena,” Titi menegaskan di hadapan peserta diskusi.

 

Ketentuan Presidential Threshold 20% sebenarnya memiliki alternatif di UU Pemilu. Sayangnya, alternatif ini bagi Titi tak kalah buruk yaitu perolehan suara sah 25% secara nasional pada Pemilu anggota DPR periode sebelumnya. Artinya, partai politik atau gabungan partai politik dengan jumlah perolehan suara sah 25% di Pemilu 2014 bisa mengusung calon Presiden tahun 2019 nanti.

 

“Bagaimana mungkin bisa mengevaluasi kepemimpinan politik yang lima tahunan itu kalau kekuatan politik lima tahun masa lampau masih ikut menentukan proses kontestasi? Bercokol 10 tahun,” ujar Titi. Ia melihat hal ini sebagai diskriminasi pada partai politik peserta Pemilu, terutama yang baru lolos bergabung di periode berjalan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait