Penyalahgunaan Kewenangan, Modus Korupsi Paling Favorit
LIPUTAN KHUSUS

Penyalahgunaan Kewenangan, Modus Korupsi Paling Favorit

Dari lima pengadilan tipikor, modus penyalahgunaan kewenangan berada di posisi puncak di tiga pengadilan. Dua pengadilan lainnya, diisi modus pengadaan barang dan jasa serta pengelapan dalam jabatan.

Tim Hukumonline
Bacaan 2 Menit
Berdasarkan jabatan, tahun 2015 perkara tindak pidana korupsi yang ditangani KPK terbanyak adalah anggota DPR dan DPRD sebanyak 19 pelaku. Urutan berikutnya adalah swasta 18 pelaku, ESELON I, II, dan III tujuh pelaku, gubernur empat pelaku, walikota/bupati dan wakil empat pelaku, kepala lembaga/kementerian tiga pelaku, hakim tiga pelaku dan lainnya lima pelaku.
Untuk perkara tindak pidana korupsi berdasarkan instansi, sepanjang 2015, KPK menangani terkait instansi kementerian/lembaga sebanyak 21 perkara, pemerintah provinsi 18 perkara, pemerintah kabupaten/kota 10 perkara, BUMN/BUMD lima perkara dan DPR tiga perkara.
Penanganan perkara tindak pidana korupsi oleh KPK sebanyak 281 terbagi atas lima tahap. Yakni, tahap penyelidikan sebanyak 87 perkara, penyidikan 57 perkara, penuntutan 62 perkara, inkracht (berkekuatan hukum tetap) 37 perkara dan eksekusi sebanyak 38 perkara.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Penelitian dan Pengembangan KPK Cahya Hardianto Harefa mengatakan, berdasarkan hasil kajian lembaga antikorupsi tersebut, terdapat empat titik celah korupsi dalam proses pengadaan barang dan jasa. Keempatnya adalah aspek regulasi, perencanan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan. (Baca Juga: Modus Korupsi Pengadaan, Sebelum dan Sesudah Perpres 54/2010)
Dari aspek regulasi, persoalan disebabkan oleh sistem perundangan yang berbenturan, multitafsir, tumpang tindih, tidak kuat dan tidak aplikatif. Dalam aspek perencanaan dan penganggaran, KPK menemukan sejumlah permasalahan yang diakibatkan oleh tidak berintegritasnya pemangku kepentingan dan proses perencanaan yang tidak transparan.
Dari aspek pengawasan pun belum dinilai optimal kerap bersifat reaktif dan tidak proaktif. Sementara dari aspek pelaksanaan, paling banyak ditemukan permasalahan, seperti organisasi pengadaan barang dan jasa yang tidak berintegritas, intervensi eksternal, kolusi, kelemahan sistem sumber daya manusia (SDM), individu yang koruptif dan tidak independen serta intervensi pada proses pemilihan penyedia barang dan jasa.

Hukumonline.com




Dua tahun setelah UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) berlaku, wajib berdiri Pengadilan Tipikor di setiap Ibukota Provinsi. Namun, sejak berdiri pada tahun 2011 silam, perkara korupsi tetap menyemut di tiap provinsi. Hal ini terlihat dari hasil pemantauan yang dilakukan Lembaga Kajian & Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) bersama Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) dengan menggandeng sejumlah aktivis daerah di lima Pengadilan Tipikor yang ada di Indonesia.
Tags:

Berita Terkait