Penyalahgunaan Kewenangan, Modus Korupsi Paling Favorit
LIPUTAN KHUSUS

Penyalahgunaan Kewenangan, Modus Korupsi Paling Favorit

Dari lima pengadilan tipikor, modus penyalahgunaan kewenangan berada di posisi puncak di tiga pengadilan. Dua pengadilan lainnya, diisi modus pengadaan barang dan jasa serta pengelapan dalam jabatan.

Tim Hukumonline
Bacaan 2 Menit
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pukat FH UGM) Hifdzil Alim mengatakan, penyalahgunaan kewenangan, pengadaan barang dan jasa serta penggelapan jabatan hingga suap menyuap dan mark up memang kerap diminati para koruptor. Apalagi, jika dikaitkan dengan pelaku tindak pidana korupsi yang mayoritas dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS).“Tidak ada hal baru sebetulnya ketika PNS melakukan penyalahgunaan wewenang karena dia memiliki kewenangan di dalam pengadaan barang dan jasa untuk pembangunan infrastruktur,” tutur Alim.Menurutnya, modus suap menyuap hingga pengadaan barang dan jasa serta mark up mendominasi lantaran kondisi yang mendukung. Apalagi, jika dikaitkan dengan perencanaan yang kurang matang. Atas serangkaian hasil pemantauan yang hampir sama tiap tahunnya itu, menurut Alim, menjadi indikasi bahwa pemerintah tidak serius melakukan penegakan hukum pemberantasan korupsi.“Suap ada beberapa kali muncul, perencanaan tidak sesuai kemudian pelaksanaannya ada unsur fraud, itu saja dari dulu sampai sekarang,” katanya.Pernyataan Alim yang mengatakan bahwa suap menyuap menjadi modus ‘favorit' para pelaku korupsi sesuai dengan laporan tahunan 2015 yang diterbitkan KPK. Berdasarkan laporan tahunan yang diberi judul “Menolak Surut” itu tercatat bahwa modus penyuapan terbanyak yakni 38 perkara. (Baca Juga: ICW: Modus Utama Korupsi Pendidikan adalah Penggelapan)Total modus perkara tindak pidana korupsi yang ditangani KPK sepanjang 2015 adalah 57 perkara. Setelah penyuapan, modus berikutnya adalah pengadaan barang dan jasa sebanyak 14 perkara. Penyalahgunaan anggaran sebanyak dua perkara serta perizinan, pungutan, tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan merintangi proses KPK masing-masing satu perkara.Berdasarkan jabatan, tahun 2015 perkara tindak pidana korupsi yang ditangani KPK terbanyak adalah anggota DPR dan DPRD sebanyak 19 pelaku. Urutan berikutnya adalah swasta 18 pelaku, ESELON I, II, dan III tujuh pelaku, gubernur empat pelaku, walikota/bupati dan wakil empat pelaku, kepala lembaga/kementerian tiga pelaku, hakim tiga pelaku dan lainnya lima pelaku.Untuk perkara tindak pidana korupsi berdasarkan instansi, sepanjang 2015, KPK menangani terkait instansi kementerian/lembaga sebanyak 21 perkara, pemerintah provinsi 18 perkara, pemerintah kabupaten/kota 10 perkara, BUMN/BUMD lima perkara dan DPR tiga perkara.Penanganan perkara tindak pidana korupsi oleh KPK sebanyak 281 terbagi atas lima tahap. Yakni, tahap penyelidikan sebanyak 87 perkara, penyidikan 57 perkara, penuntutan 62 perkara, inkracht (berkekuatan hukum tetap) 37 perkara dan eksekusi sebanyak 38 perkara.Sebelumnya, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Penelitian dan Pengembangan KPK Cahya Hardianto Harefa mengatakan, berdasarkan hasil kajian lembaga antikorupsi tersebut, terdapat empat titik celah korupsi dalam proses pengadaan barang dan jasa. Keempatnya adalah aspek regulasi, perencanan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan. (Baca Juga: Modus Korupsi Pengadaan, Sebelum dan Sesudah Perpres 54/2010)Dari aspek regulasi, persoalan disebabkan oleh sistem perundangan yang berbenturan, multitafsir, tumpang tindih, tidak kuat dan tidak aplikatif. Dalam aspek perencanaan dan penganggaran, KPK menemukan sejumlah permasalahan yang diakibatkan oleh tidak berintegritasnya pemangku kepentingan dan proses perencanaan yang tidak transparan.Dari aspek pengawasan pun belum dinilai optimal kerap bersifat reaktif dan tidak proaktif. Sementara dari aspek pelaksanaan, paling banyak ditemukan permasalahan, seperti organisasi pengadaan barang dan jasa yang tidak berintegritas, intervensi eksternal, kolusi, kelemahan sistem sumber daya manusia (SDM), individu yang koruptif dan tidak independen serta intervensi pada proses pemilihan penyedia barang dan jasa.

Hukumonline.com



Tags:

Berita Terkait