Pengadilan Setujui Pemecatan Karyawan Tanpa Pesangon
Berita

Pengadilan Setujui Pemecatan Karyawan Tanpa Pesangon

Karena menurut hakim pekerja terikat kesepakatan dengan perusahaan untuk hanya menerima pensiun.

CR-12
Bacaan 2 Menit
Pemutusan hubungan kerja lazimnya diikuti dengan munculnya hak pekerja atas pesangon. Foto: SGP
Pemutusan hubungan kerja lazimnya diikuti dengan munculnya hak pekerja atas pesangon. Foto: SGP

Pemutusan hubungan kerja lazimnya diikuti dengan munculnya hak pekerja atas pesangon. UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bahkan sudah mengatur kondisi-kondisi yang menyebabkan putusnya hubungan kerja beserta rumus penghitungan pesangonnya.

 

Salah satu alasan PHK yang diatur UU Ketenagakerjaan adalah demi melakukan efisiensi di perusahaan. Kepada pekerja yang terkena pemecatan dengan alasan itu, ia berhak atas uang pesangon sebesar dua kali ketentuan undang-undang dan kompensasi lain. Hal ini tegas diatur dalam Pasal 164 Ayat (3) UU Ketenagakerjaan.

 

Itu di atas kertas. Bagaimana praktiknya? Ternyata tidak demikian. Edi Kusnadi, Djaya M Husein dan sepuluh rekannya sesama karyawan Hotel Aryaduta Jakarta harus gigit jari. Mereka tak mendapat pesangon sepeser pun walau dipecat karena alasan efisiensi. Ironisnya lagi, hakim Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta membenarkan kondisi itu.

 

Disidang dalam dua berkas gugatan terpisah, majelis hakim yang berbeda pula, kompak menjatuhkan putusan. Untuk perkara Edi Kusnadi dkk (9 orang) majelis hakim yang mengadili dipimpin oleh Nur Ali di ruang sidang II. Sedangkan dalam perkara Djaya M Husein dkk (3 orang), majelis hakim diketuai Kartim di ruang sidang I.

 

Menurut hakim, Edi dkk tidak berhak beroleh pesangon. Sebab, mereka dinyatakan terikat dengan perjanjian bersama yang ditandatangani pada 5 Oktober 2010. Dalam perjanjian bersama itu disebutkan bahwa mereka dipecat karena alasan efisiensi sesuai Pasal 164 Ayat (3) UU Ketenagakerjaan dengan kompensasi pensiun. Bukan pesangon.

 

Majelis hakim berpedoman pada Pasal 1338 KUH Perdata dan 1320 KUH Perdata yang intinya menyatakan perjanjian telah sah dan berlaku selayaknya undang-undang bagi kedua belah pihak. Selain itu, hakim juga berpendapat para pekerja tak bisa membuktikan adanya unsur paksaan dalam pembuatan perjanjian bersama itu.

 

Persoalan bermula ketika keduabelas pekerja itu pada 5 Oktober 2010 dipanggil menghadap manajemen di kamar hotel nomor 310. Pihak manajemen berdalih bahwa panggilan itu ditujukan untuk pelatihan. Pekerja masuk ke kamar itu satu persatu dan tidak boleh didampingi oleh serikat pekerja (SP).

Halaman Selanjutnya:
Tags: