​​​​​​​Penegakan Keadilan dan Kepastian Hukum dalam Negara Hukum Pancasila Oleh: Feri Wirsamulia*)
Kolom

​​​​​​​Penegakan Keadilan dan Kepastian Hukum dalam Negara Hukum Pancasila Oleh: Feri Wirsamulia*)

​​​​​​​Reformasi hukum tentu bukan sesuatu yang dapat dilakukan dalam waktu singkat.

Bacaan 2 Menit

 

Apa yang disampaikan oleh Anwar Arifin ini, dalam tataran praktik perpolitikan di Indonesia dewasa ini merupakan realita yang sulit dibantah. ‘Kerjasama’ yang disinyalir oleh Anwar Arifin tersebut sebagai upaya untuk mencari biaya politik, dapat dilihat pada upaya koalisi di antara partai-partai politik yang walaupun secara ‘ideologi’ berbeda, namun dengan kolisi tersebut pada gilirannya para elite akan dengan mudah mengakses sumber ekonomi negara.

 

Kegagalan para elit dalam mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila ke dalam produk perundang-undangan dan ke dalam tatanan kehidupan politik, membawa konsekuensi logis bahwa hukum hanya akan berhenti pada hukum sebagai Practical Science atau hukum hanya dipandang sebagai teks normatif. Dalam keadaan demikian, hukum akan kehilangan ‘jiwa’nya dalam penegakan keadilan dan kehilangan ‘arah’ nya sebagai penuntun dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita akan terjebak pada pandangan yang menganut hukum tertulis sebagai satu-satunya acuan (legalistic-positivistic) untuk menyelesaikan berbagai macam persoalan di masyarakat. Sementara itu nilai-nilai tidak tertulis yang hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat lambat laun akan terpinggirkan.

 

Kesimpulan dan Penutup

Dengan mencermati keadaan negara dewasa ini, tak ada keraguan bahwa hukum sebagai political order harus segera dilakukan reformasi. Demikian juga dengan social order (tatanan sosial) karena keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Sebagai bagian dari seluruh tatanan kehidupan, Political order dan Social order keduanya menyatu dan berkelindan satu sama lain di samping transcendental order, sehingga mereka tidak bisa dipisahkan. Keduanya (tatanan politik dan sosial) merupakan hukum buatan manusia (lex humana) untuk mengatur agar kehidupan manusia menjadi lebih baik dan membahagiakan.

 

Hal ini sejalan dengan konsep utilitarianisme yang meyakini bahwa hukum harus dapat memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi orang sebanyak-banyaknya. Walaupun hukum mungkin tidak bisa membahagiakan semua orang, namun setidaknya hukum harus bisa menjadi pedoman bagi masyarakat untuk menyelesaikan berbagai macam persoalan yang dilandasi dengan nilai keadilan dan kepastian hukum.

 

Upaya Pemerintah saat ini untuk mereformasi tatanan sebagai negara hukum (rechtsstaat), merupakan suatu usaha yang patut diapresiasi. Reformasi tersebut tidak cukup hanya dengan mereformasi hukum yang lahir dari proses legislasi, namun juga termasuk hukum yang berasal dari proses administrasi negara, dan dari proses ajudikasi. Keharusan untuk mereformasi tatanan hukum ini telah begitu terasa kebutuhannya dengan melihat kepada situasi sosial politik dewasa ini.

 

Demokrasi yang digagas pada awal masa reformasi, tampaknya telah “kebablasan” menjadi liberalistic dan melupakan nilai-nilai Pancasila sebagai acuan dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perkembangan teknologi dan media sosial, melahirkan paradigma baru yang justru memperlemah Pancasila. Ujaran kebencian dan hoax di media sosial seperti telah menjadi hal biasa, dan tidak semuanya bisa dilakukan proses hukum. Di media sosial, hukum seperti tidak berdaya karena ujaran-ujaran kebencian tersebut banyak yang lepas dari jerat hukum. Ujaran kebencian ini tidak lagi hanya berada di tataran antar individu atau kelompok masyarakat, melainkan telah menuju pada ujaran kebencian terhadap institusi negara. Mengejek dan menghina Presiden sebagai kepala negara tampaknya dianggap sebagai unjuk keberanian karena etika dan moral telah hilang dari kehidupan berbangsa.

 

Seminar Nasional yang diselenggarakan Pemerintah, dengan topik “Reformasi Hukum: Menuju Peraturan Perundang Undangan Yang Efektif dan Efisien”, menunjukkan keseriusan Pemerintah dalam upaya untuk mereformasi hukum dengan melakukan pembahasan dalam rangka menyusun naskah akademiknya terlebih dahulu. Namun upaya reformasi hukum ini menurut Penulis tidak cukup hanya dengan mereformasi peraturan perundang-undangan, namun harus dilakukan secara holistik yang mencakup reformasi terhadap proses legislasi, administrasi dan ajudikasi.

 

  • Reformasi Hukum Proses Legislasi

Pemikiran terhadap adanya satu badan otonom yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden untuk ditugasi sebagai satu-satunya pintu dari sisi Pemerintah dalam melahirkan UU, patut diapresiasi. Pemikiran itu terlihat ingin menyatukan proses penyusunan RUU di satu pintu, sehingga diperoleh standar kualitas yang seragam sampai kepada redaksi pasal demi pasal dari RUU yang akan diajukan.

 

Pengkajian terhadap RUU di badan otonom tersebut tentu mencakup landasan pemikiran apakah RUU yang akan diajukan itu memang diperlukan, apa kemanfaatannya terhadap kehidupan masyarakat, sinkronisasi secara vertikal dan horizontal, sampai kepada penerapan nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah negara. Dengan demikian, pembahasan di tingkat parlemen tidak lagi diperlukan sampai pada pembahasan yang sifatnya detail teknis dan redaksional, namun cukup pada substansi politik dari RUU yang diajukan.

 

  • Reformasi Hukum Proses Administrasi Negara

Upaya mereformasi ketentuan hukum yang berasal dari proses administrasi atau suatu keputusan dari pejabat administrasi negara, juga harus direformasi agar perselisihan antara pejabat negara sebagai pihak yang mengeluarkan keputusan administrasi negara dengan masyarakat yang terdampak, dapat dikurangi. Para pejabat administrasi negara tersebut tidak selalu harus menerbitkan suatu peraturan, namun bisa dalam bentuk diskresi atau kebijakan sehingga lebih sederhana dan fleksibel.

 

Tentu hal ini juga harus memperhatikan substansi dari aturan yang akan diberlakukan. Selain dari sisi teknis, para pejabat administrasi negara tentu harus menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral agar penyelenggara negara dan semua institusinya memperoleh kembali kepercayaan masyarakat. Nilai-nilai Pancasila bahkan harus tertanam lebih dalam mengingat keberlangsungan pemerintahan yang baik dan kredibel berada di tangan para penyelenggara negara tersebut.

 

  • Reformasi Hukum Proses Ajudikasi

Reformasi hukum dari proses ajudikasi merupakan titik paling krusial dalam menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum itu sendiri. Kepercayaan terhadap institusi badan peradilan dengan sendirinya akan menumbuhkan kepercayaan terhadap hukum. Berita penangkapan oleh KPK yang terjadi terhadap beberapa hakim, panitera dan pengacara, menunjukkan moralitas para penegak hukum sudah sedemikian rendah. Belum lagi terhadap putusan putusan yang jauh dari rasa keadilan, walaupun putusan tersebut memberikan kepastian hukum.

 

Peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai hakim mutlak diperlukan. Hakim sebagai ujung tombak dari proses ajudikasi ini ini haruslah memiliki pengetahuan dan punya kemampuan untuk menangkap rasa keadilan masyarakat. Kemampuan ini akan tercermin dengan sendirinya melalui putusan yang dihasilkan. Mampu dan berani memberi terobosan dalam hukum mutlak diperlukan sehingga keputusan yang dihasilkan akan menjadi nilai baru sebagai jurisprudensi hukum. Hakim tidak boleh lagi hanya melihat hukum pada sisi teks normatif (legalistic-positivistic), namun juga harus mampu menyerap nilai-nilai hukum yang memberikan rasa keadilan, sehingga putusannya dapat dijadikan sandaran pada setiap permasalahan. Dengan tumbuhnya kepercayaan masyarakat terhadap putusan-putusan yang dilahirkan oleh badan peradilan, diharapkan institusi peradilan kembali memperoleh kepercayaan dari para pencari keadilan.

 

Ketiga proses reformasi hukum di atas, akan menjadi pedoman terhadap tatanan kehidupan bernegara, baik secara politik, sosial, ekonomi dan budaya, yang berarti juga harus dilandasi oleh nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah negara. Pancasila sebagai suatu sistem nilai tidak boleh dilepaskan dari ketiga proses reformasi tersebut. Nilai-nilai keagamaan dan nilai-nilai etika moral dari Pancasila sebagai bentuk hukum yang tidak tertulis, harus dapat disandingkan dalam kerangka persatuan, sebagai suatu kesatuan nilai yang harmonis satu sama lain dan tidak perlu dipertentangkan.

 

Reformasi hukum tentu bukan sesuatu yang dapat dilakukan dalam waktu singkat. Perlu kemauan politik dari penyelenggara negara untuk melakukan perubahan dalam pembangunan hukum. Arah pembangunan hukum ke depan harus dijadikan agenda utama oleh penyelenggara negara dalam rangka mencapai tujuan hukum sebagai Genuine Sciece dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bila partai politik yang memiliki peranan besar dalam pembentukan arah pembangunan hukum, masih tetap lebih mengutamakan pada popularitas dan menafikan kemampuan intelektual dari calon yang diajukan sebagai wakil rakyat, maka panggung politik hanya akan dipenuhi oleh orang orang yang tuna visi terhadap berbagai persoalan kebangsaan, dan akibatnya negara akan terjerumus kepada situasi politik di mana kekuasaan sebagai panglima (machtstaat).

 

Alinea terakhir dari Pembukaan UUD 1945 yang memuat Pancasila sebagai landasan falsafah negara, telah mengajarkan dan menunjukkan bahwa Pancasila terbukti mampu menjadi perekat bagi rumah kebangsaan Indonesia. Sampai saat ini Pancasila masih relevan sebagai ideologi bangsa dan sumber hukum walaupun didera dengan perkembangan teknologi dan nilai nilai baru yang sangat pesat di segala bidang. Bila saat ini dirasa melemah dengan munculnya paradigma baru yang berkembang di tengah masyarakat, maka itu perlu segera diperbaiki dengan mengembalikan nilai-nilai Pancasila, tidak hanya sebagai sumber hukum, tapi juga sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara.

 

*)Feri Wirsamulia merupakan alumni FH Universitas Trisakti angkatan 1982.

 

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama antara Hukumonline dengan Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Trisakti.

Tags:

Berita Terkait