​​​​​​​Penegakan Keadilan dan Kepastian Hukum dalam Negara Hukum Pancasila Oleh: Feri Wirsamulia*)
Kolom

​​​​​​​Penegakan Keadilan dan Kepastian Hukum dalam Negara Hukum Pancasila Oleh: Feri Wirsamulia*)

​​​​​​​Reformasi hukum tentu bukan sesuatu yang dapat dilakukan dalam waktu singkat.

Bacaan 2 Menit

 

Ironisnya semenjak era reformasi, dalam setiap tinjauan akademik suatu RUU, tidak pernah dilakukan tinjauan secara filosofis terhadap landasan falsafah dan nilai-nilai Pancasila sebagai sumber hukum tertinggi di Indonesia. Tidak hanya dalam naskah akademik, dalam proses pembahasan di DPR ternyata juga tidak pernah dilakukan pembahasan secara khusus dengan subyek bahasan sinkronisasi RUU dengan Pancasila sebagai landasan falsafah negara. Pancasila sebagai sumber hukum dan landasan falsafah negara tidak lagi digunakan sebagai rujukan tertinggi dalam penyusunan peraturan perundang-undangan.

 

Fakta ini diperoleh dari hasil wawancara Penulis dengan Dr. Hamdan Zoelva SH, MH, seorang mantan anggota DPR periode 1999-2004, mantan hakim pada Mahkamah Konstitusi dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi RI dari 2013 sampai 2015.

 

Sebagai mantan anggota DPR, Hamdan terlibat secara langsung dalam proses legislasi di parlemen, dan sebagai mantan hakim konstitusi, juga terlibat langsung dalam upaya korektif melalui jalur ajudikasi. Dikatakannya bahwa sejak reformasi, tidak pernah dilakukan pembahasaan secara khusus terhadap suatu RUU untuk menyelaraskan isi dan ketentuan RUU tersebut dengan nilai-nilai Pancasila. Penyelarasan yang lebih sering dibahas adalah dengan ketentuan yang bersifat vertikal, yaitu apakah RUU tersebut bertentangan atau tidak terhadap Konstitusi.

 

Hal ini juga menjadi kritik Hamdan terhadap proses legislasi yang selama ini berlangsung, karena pada saat menjadi hakim pada Mahkamah Konstitusi, ternyata banyak ditemukan peraturan perundang-undangan yang tidak saja bertentangan dengan UUD 1945, namun juga tidak selaras dengan nilai-nilai Pancasila. Sebagai ilustrasi, sejak tahun 2003 sampai dengan 2012, tidak kurang dari 540 UU diajukan pengujiannya di Mahkamah Konstitusi, dan 138 di antaranya telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Ini tentu bukan jumlah yang sedikit, dan hal tersebut mencerminkan rendahnya kualitas UU yang dihasilkan.

 

Walaupun pembatalan UU yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut tidak dapat disimpulkan seluruhnya bertentangan dengan nilai Pancasila, tapi setidaknya DPR terlihat terlalu berorientasi hanya kepada ketentuan yang termuat di dalam UUD 1945 dari pada nilai-nilai Pancasila. Hal ini berakibat bahwa hukum hanya akan menjadi teks yang bersifat normatif, namun jauh dari nilai-nilai etika dan moral, bahkan nilai keadilan.

 

Profesor Sudjito, guru besar pada Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, menggarisbawahi mengenai hal ini dengan mengatakan bahwa, “Kita sadar secara empiris, kepekaan bangsa ini terhadap nilai nilai etika dan moral semakin luntur ketika kepedulian terhadap Pancasila sebagai sistem nilai telah dinafikan dan digantikan dengan kepedulian secara total kepada konstitusi.”

 

Mengenai pelemahan Pancasila ini, Anwar Arifin, seorang professor Ilmu Komunikasi Politik, menyatakan secara lugas bahwa, ”Melemahnya Pancasila secara substansial dalam kehidupan nyata memberi peluang berkembangnya liberalisme, individualisme, kapitalisme dan pragmatisme terutama di kalangan elit. Partai politik tidak mengalami lagi persaingan ideologi dan politik, tetapi bahkan sebaliknya partai partai politik dalam sistem banyak partai, justru melakukan ‘kerjasama’ yang melahirkan kartelisasi dalam mencari biaya politik”.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait