Pemerintah Ubah Cara Rekrutmen Advokat, Sejalan atau Bertentangan UU Advokat?
Utama

Pemerintah Ubah Cara Rekrutmen Advokat, Sejalan atau Bertentangan UU Advokat?

Dua kubu Peradi siap mengajukan uji materil ke Mahkamah Agung.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

 

Hukumonline.com

 

Luhut yang juga berprofesi sebagai dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengatakan, tidak seharusnya pendidikan advokat dimasukkan dalam pola pendidikan di perguruan tinggi. Pada dasarnya ia mendukung berbagai upaya mewujudkan standar mutu profesi advokat. Tetapi Luhut menolak jika terlalu banyak teori yang dijejalkan lewat program perguruan tinggi. “Ini sudah soal kemahiran di lapangan, teorinya sudah dipenuhi. Kalau dimasukkan lagi ke kampus jadi berteori lagi,” katanya.

 

Menurutnya, pola saat ini dengan pelatihan intensif selama tiga bulan dan kewajiban magang selama dua tahun sudah cukup memadai bagi persiapan menjadi advokat. Upaya peningkatan kualitas tidak perlu dialihkan menjadi program profesi selama setahun di perguruan tinggi dengan pola penilaian akademik berbasis kredit semester.

 

Berdalih dengan UU Pendidikan Tinggi

Gagasan untuk memindahkan pendidikan advokat ke tangan universitas memang bukan hal baru. Bahkan pada tahun 2016 lalu telah keluar putusan MK Nomor 95/PUU-XIV/2016 yang mewajibkan penyelenggaraan pendidikan khusus profesi advokat harus bekerja sama dengan perguruan tinggi yang fakultas hukumnya minimal terakreditasi B atau sekolah tinggi hukum yang minimal terakreditasi B. Tampak bahwa MK menambahkan syarat konstitusional penyelenggaraan pendidikan khusus profesi advokat dengan wajib bersama-sama kampus hukum.

 

Permohonan uji materiil UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat terkait penyelenggaraan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) saat itu diajukan oleh Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI) dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi. APPTHI dalam petitumnya meminta dua hal melalui palu Hakim Konstitusi.

 

Pertama, penyelenggaraan PKPA dilaksanakan oleh perguruan tinggi bekerjasama dengan organisasi profesi advokat. Kedua, ujian profesi advokat diadakan oleh perguruan tinggi bekerjasama dengan organisasi profesi advokat. Namun MK hanya mengabulkan soal penyelenggaraan PKPA. Artinya kewenangan ujian profesi advokat masih berada di tangan organisasi advokat.

 

Jika dibaca secara menyeluruh, Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi No.5 Tahun 2019 tentang Program Profesi Advokat adalah kelanjutan dari penerapan putusan MK tersebut. Program profesi advokat tetap harus dilaksanakan pihak kampus hukum dengan akreditasi minimal B bersama dengan organisasi advokat. Disebutkan pula bahwa gelar ‘advokat’ dan sertifikasi profesi advokat diberikan bersama-sama oleh perguruan tinggi dan organisasi advokat. Kerja sama dan peran kedua pihak ini diatur secara tidak terpisah dalam rangka mengangkat advokat.

 

Selain itu, berdasarkan penjelasan tertulis yang hukumonline.com dapatkan dari Direktorat Jenderal Kelembagaan Iptek dan Dikti, pemerintah berdalih bahwa perubahan ini memiliki pijakan dari UU No.12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Pendidikan Tinggi).

Tags:

Berita Terkait