Pemberhentian Hakim Konstitusi Aswanto Upaya Sistematis Mengendalikan Mahkamah
Terbaru

Pemberhentian Hakim Konstitusi Aswanto Upaya Sistematis Mengendalikan Mahkamah

Ada tujuh catatan. Mulai DPR keliru menafsirkan surat dari Ketua MK, menabrak ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, ahistoris dengan produk UU yang dihasilkan sendiri, hingga berkaitan dengan kontestasi politik 2024 mendatang.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Ketiga, keputusan DPR memberhentikan Aswanto menunjukkan lembaga legislatif itu ahistoris dengan produk UU yang dihasilkan sendiri. Sebab, mekanisme ganjil itu jelas bertolak belakang dengan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Dalam hal regulasi secara materil, Aswanto sejatinya tidak sedang diberhentikan dengan atau tidak hormat. Sebab, tanpa melalui mekanisme yang benar atau prosesnya bermasalah yakni pengiriman surat dari Ketua MK kepada Presiden untuk selanjutnya diterbitkan Keputusan Presiden (Keppres) pemberhentian hakim konstitusi. 

Keempat, keputusan DPR memberhentikan Aswanto kental dengan nuansa politik terhadap lembaga kekuasaan kehakiman. Sebab, mengacu pada pernyataan Ketua Komisi III DPR RI sekaligus politisi asal PDIP, Bambang Wuryanto, alasan pemberhentian Aswanto lantaran hakim konstitusi itu menganulir UU yang dikerjakan oleh DPR. Dampaknya, Aswanto yang notabene hakim konstitusi usulan lembaga legislatif diberhentikan. Baginya, logika tersebut tidaklah jelas dan menyesatkan. “Dan ini memperlihatkan sikap kekanakan-kanakan.”

Kurnia menerangkan mengacu Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman secara gamblang menyebutkan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan. Oleh karenanya, tidak ada kewajiban hakim konstitusi menuruti atau membenarkan semua produk peraturan perundang-undangan yang diinisiasi oleh pemerintah atau DPR.

Lagipula, UU No.11 Tahun 2020 dan revisi UU No.20 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang Cipta Kerja, hingga revisi ketiga UU 24/2003 tentang MK yang digarap DPR dan pemerintah memang menuai banyak persoalan.  Selain itu, anggapan Ketua Komisi III Bambang Wuryanto Soal Aswanto perwakilan DPR di MK pun keliru. Sebab, menilik Pasal 18 ayat (1) UU MK mengatur keberadaan DPR dalam pemilihan hakim konstitusi sebatas mengajukan, bukan berasal dari anggota DPR. “Jadi pemikiran Bambang itu mestinya diabaikan saja.”

Kelima, dasar pemikiran legislatif saat memberhentikan Aswanto bermuatan konflik kepentingan. Bahkan seolah ingin menundukkan atau mengendalikan MK. Menurutnya, alasan yang menyebut Aswanto menganulir produk legislasi DPR menandakan Ketua Komisi III memiliki kepentingan dalam proses pemilihan hakim konstitusi

Keenam, praktik pembangkangan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana tampak dilakukan DPR menjadi preseden buruk terhadap masa depan MK. Menurutnya, langkah lembaga legislatif boleh jadi berpotensi bakal ditiru cabang kekuasaan lainnya yang menjadi pengusul hakim konstitusi, seperti presiden dan Mahkamah Agung.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait