Pasca Putusan UU Jaminan Fidusia, Simak Aturan Debtcollector di Beberapa Negara
Utama

Pasca Putusan UU Jaminan Fidusia, Simak Aturan Debtcollector di Beberapa Negara

Pengadilan perlu menyiapkan diri menerima permohonan eksekusi. Perlu ada pedoman teknis eksekusi hingga profesionalitas jasa debt collector.

Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

Bagaimana pengadilan akan menilai permohonan ekseksusi dalam jumlah yang sangat banyak dengan seadil-adilnya? Sementara itu tumpukan perkara yang kian menggunung di pengadilan sudah menjadi rahasia umum. Lambatnya penanganan perkara di pengadilan juga sudah menjadi stigma oleh publik.

Perlu Pedoman Eksekusi

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memang sudah mewajibkan perusahaan pembiayaan memiliki pedoman internal mengenai eksekusi. Bahkan OJK berwenang mengawasi serta mengoreksi pedoman tersebut. Jika tidak patuh, OJK bisa menjatuhkan sanksi hingga yang terberat berupa pencabutan izin usaha.

Kewajiban itu dituangkan dalam Peraturan OJK No. 35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan. Peraturan ini berlaku sebelum putusan MK dijatuhkan. Nampaknya iktikad baik peraturan ini terhadap debitor terganjal pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJaminan Fidusia) yang dipersoalkan.

(Baca juga: Menagih Utang dengan Cara Intimidasi? Pelajaran Penting dari Dua Putusan Pengadilan).

Faktanya perusahaan pembiayaan lebih sering memanfaatkan kesaktian ‘kekuatan eksekutorial’ dalam UU Jaminan Fidusia. Para pegawai penagihan (debt collector) dikirim untuk menaklukkan debitor dengan segala cara. Apalagi salah satu pasal Peraturan OJK No. 35/POJK.05/2018 ternyata menyerahkan teknis eksekusi wajib sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur agunan. Dalam hal ini memanfaatkan kesaktian ‘kekuatan eksekutorial’ jaminan fidusia menjadi sah dilakukan kreditor.

Perlu dicatat bahwa pengadilan pernah berupaya meluruskan pelaksanaan ‘kekuatan eksekutorial’ sebekum putusan MK dijatuhkan. Pada Oktober 2013, Mahkamah Agung pernah menghukum bank dan pihak lain yang digugat. Para tergugat dinyatakan terbukti bersalah melakukan perbuatan melawan hukum ketika melakukan penagihan kredit dengan cara-cara teror dan intimidasi. Sanksi dijatuhkan untuk membayar secara renteng ganti rugi kepada penggugat sebesar Rp1 miliar.

Isi pertimbangan majelis hakim kasasi yang memutus perkara No. 3192K/Pdt/2012 itu tegas berbunyi, “Bahwa tindakan Tergugat I dalam melakukan penagihan kredit adalah tindakan tidak profesional karena mengutamakan penggunaan pendekatan intimidasi dan premanisme daripada pendekatan lain yang mendudukkan nasabah sebagai partner bank, dan oleh karena itu adalah layak dan adil apabila Tergugat dijatuhi hukuman untuk membayar ganti rugi kepada Penggugat yang lebih berat”.

Setelah putusan Mahkamah Agung, muncul putusan Mahkamah Konstitusi. Tafsir Mahkamah Konstitusi perlu ditindaklanjuti para pemangku kepentingan. Perlu ada perbaikan regulasi agar sejalan dengan pandangan Mahkamah. Misalnya, pedoman eksekusi. Apalagi saat ini melibatkan izin pengadilan untuk eksekusi. Peraturan OJK No. 35/POJK.05/2018 terbukti tidak efektif sampai akhirnya ada debitor yang mencari keadilan hingga ke MK.

Tags:

Berita Terkait