Pasca Putusan MK: Masih Adakah Organisasi Berdasarkan UU Advokat dan SKMA?
Kolom

Pasca Putusan MK: Masih Adakah Organisasi Berdasarkan UU Advokat dan SKMA?

Perlu keberanian untuk mengalahkan diri sendiri, melepaskan ego, kepentingan diri maupun lembaga demi menciptakan pondasi tatanan hukum yang adil bertanggung jawab bagi bangsa dan negara Republik Indonesia.

Bacaan 2 Menit

 

Sangat pasti dalam AD/ART semua organisasi profesi advokat, pengacara, konsultan hukum tersebut, tidak pernah mencantumkan dalam tujuan perkumpulan atau organisasinya; untuk melaksanakan PKPA, ujian advokat, apalagi menyatakan berhak untuk mengangkat advokat.

 

Alasannya karena memang organisasi tersebut adalah suatu organisasi profesi (yaitu perkumpulan para advokat-pengacara-penasihat hukum-konsultan hukum) yang tidak punya kewenangan sebagai organ negara.

 

Barulah kemudian dengan perkembangannya delapan organisasi profesi tersebut (Ikadin, AAI, IPHI, SPI, HAPI, HKHPM, AKHI, APSI, bersepakat dan atas perintah UU 18/2003 mendirikan organisasi advokat dengan nama Perhimpunan Advokat Indonesia/Peradi serta bersama sama memberlakukan menandatangani Kode Etik Advokat Indonesia).

 

Tugas delapan organisasi profesi sebagai pendiri selesai sejak 2 tahun UU Advokat berlaku dan telah didirikannya Peradi, karena semua kewenangan organisasi dijalankan oleh Peradi. (Pasal 32 ayat (4) UU Advokat)

 

Pertimbangan Majelis dalam Putusan MKRI No 014/PUU/IV/2006 menyatakan pasal 32 ayat (3) dan ayat (4) UU Advokat yang juga dimohonkan pengujian oleh para Pemohon a quo sesungguhnya merupakan pasal yang sudah selesai dilaksanakan dengan telah berlalunya tenggat dua tahun dan dengan telah terbentuknya Peradi sebagai organisasi advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi advokat. Sehingga tidak relevan lagi untuk dipersoalkan konstitusionalitasnya.

 

Organisasi advokat sebagaimana dimaksud dalam UU 18/2003 (vide pasal 2 (1), 28 (1)  telah dinyatakan sebagai organ negara dalam putusan MKRI.

 

SKMA 073

SKMA No. 073/2019 harus dibaca secara letterlijk yaitu sebagai surat (biasa) Ketua Mahkamah Agung RI kepada seluruh Pengadilan Tinggi, sehingga jangan mensinonimkan ataupun membacanya sebagai suatu Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI. Jika dilihat secara tata urutan peraturan perundangan serta telusuri produk-produk MA sebagai produk judikatif, sehingga kalaupun secara awam diartikan sebagai Surat Keputusan (quodnon), maka tetap saja kewenangannya hanyalah menyangkut masalah masalah peradilan, dan dia tidak duduk di atas kursinya pembuat UU dan menjalankan law making, akan tetapi dia hanya menjalankan “rule making” saja.

Tags:

Berita Terkait