Ngadinah: Dari Buruh Pabrik Jadi “Lawyer
Edsus Akhir Tahun 2010:

Ngadinah: Dari Buruh Pabrik Jadi “Lawyer

Mengadu nasib ke Jakarta bermodalkan ijazah SD.

IHW
Bacaan 2 Menit

 

Sekitar dua tahun bekerja, Ngadinah memutuskan untuk berpindah kerja ke industri garmen. Tetap sebagai buruh. Upahnya memang lebih baik ketimbang sebelumnya. “Tapi jam kerjanya gila-gilaan. Dari jam tujuh pagi sampai jam sembilan malam.”

 

Ngadinah tak betah berlama-lama bekerja di industri garmen. Ia mulai melihat dan merasakan sendiri bagaimana buruh diekspolitasi. Selain soal jam kerja dan upah murah, ia juga mengetahui adanya pelanggaran hak normatif buruh seperti hak untuk beribadah dan cuti haid bagi buruh perempuan.

 

“Bahkan ada teman saya yang sampai harus terduduk di lantai menahan sakit di hari pertama dia haid. Tapi dia tak berani ijin pulang karena takut dimarahi oleh supervisor. Ada juga buruh yang tak berani ijin untuk melakukan solat.”

 

Kala itu, Ngadinah belum bisa berbuat banyak. Ia baru bisa ‘memberontak’ bagi dirinya sendiri. “Saya dari dulu nggak takut. Kalau waktunya solat, ya solat. Itu adalah hak saya sebagai manusia, sekaligus kewajiban saya sebagai makhluk-Nya.”

 

Ditahan dan dikriminalisasi

Setelah berpindah-pindah tempat bekerja, pada sekitar 1995 Ngadinah bekerja di PT Panarub Industry, Tangerang. Masih sebagai buruh. Di perusahaan yang memproduksi berbagai merek sepatu terkenal itu, semangat ‘perlawanan’ Ngadinah makin membuncah. Ia tak pernah mau jika diminta lembur kerja, menunda solatnya atau tetap bekerja di saat haid.

 

“Gara-gara itu saya sering dipindahkan ke posisi kerja yang nggak ada temannya. Mungkin perusahaan takut kalau teman yang lain jadi seperti saya.”

 

Ternyata di PT Panarub Ngadinah bertemu dengan buruh lain yang punya kesadaran berserikat. Pada tahun 1999 Ngadinah bergabung dengan Perbupas (Perkumpulan Buruh Pabrik Sepatu) PT Panarub. Ia dipercaya menjadi Sekretaris Umum di organisasi itu.

Tags:

Berita Terkait