Nasib Konsumen dalam Kasus Kepailitan
Fokus

Nasib Konsumen dalam Kasus Kepailitan

Kemudahan mempailitkan perusahaan telah menggerus kepentingan konsumen. Perlu sinkronisasi dengan UU Perlindungan Konsumen.

HRS/M-15
Bacaan 2 Menit

Tujuan baik itu tidak seindah praktiknya. Pailit seringkali dipakai tanpa melihat sederhana tidaknya pembuktian utang. Yang dilihat hanya syarat minimal utang dan kreditor yang diatur dalam  Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan. Dampak kepailitan terhadap pihak ketiga, seperti karyawan dan konsumen, seolah dilupakan. Bahkan permohonan pailit bisa mengarah pada praktik persaingan usaha tidak sehat.

Pengajar Hukum Kepailitan Universitas Indonesia Teddy Anggoro berpendapat majelis hakim kasus kepailitan perlu mempertimbangkan UU Perlindungan Konsumen saat menangani dan memutus kepailitan perusahaan yang bergerak di bidang pelayanan publik. Sebagai perbaikan dari regulasi awal, yakni Perppu No. 1 Tahun 1999, UU Kepailitan dan PKPU dinilai Teddy belum komprehensif dan sempurna, terutama dari sisi perlindungan konsumen. Kasus Batavia dan Telkomsel bisa menjadi perbandingan.

Teddy mengingatkan prinsip costumer sovereignity aliaskedaulatan konsumen. Konsumen memiliki kekuatan dalam sebuah industri khususnya perusahaan yang sifatnya pelayanan publik. Meskipun negara mengakui kedaulatan costumer soveregnity, nasib konsumen tak berdaultan saat menghadapi kepailitan. “Hukum kepailitan kita ini seolah-olah menderogasi kepentingan konsumen yang sudah diakui negara melalui UU Perlindungan Konsumen,” ujar Teddy ketika dihubungi hukumonline, Sabtu (02/2).

Sebaliknya, praktisi Hukum Kepailitan yang juga kurator, Andrey Sitanggang, berpendapat pailit perusahaan yang menyangkut publik tidak perlu mempertimbangkan UU Perlindungan Konsumen. Sebab, UU Kepailitan dan PKPU adalah sebuah aturan yang bersifat khusus (lex specialis). Apalagi, UU Kepailitan mengenal sistem pembuktian sederhana.

Andrey justru melihat faktor kondisi keuangan perusahaan yang perlu diperhatikan majelis hakim. Tujuannya adalah untuk menghindari niat jahat oknum lain yang ingin merusak perusahaan, katakanlah, karena ada persaingan bisnis.

Peluang persaingan itu, kata M. Nawir Messi, selalu ada. Namun Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) ini melihat belum ada tindakan yang mengarah pada persaingan bisnis tak sehat dalam kasus Batavia Air. Sepanjang, pemerintah membuka pemain baru untuk masuk di industri ini, Nawir tidak mengkhawatirkan munculnya praktik monopoli karena pemainnya banyak. “Jika pemerintah menutup keran pemain baru, mungkin akan muncul proses monopolisasi,” tuturnya kepada hukumonline, Rabu (13/2).

Nawir berpendapat hakim juga perlu mempertimbangkan aspek persaingan usaha dalam putusan. Selain itu, sebelum diputus pailit, ada koordinasi antara pengadilan niaga dengan pemerintah untuk menyelesaikan persoalan konsumen. Pengadilan seharusnya mewajibkan pemerintah (lembaga terkait) menyelesaikan persoalan yang berkaitan dengan konsumen.

Tags:

Berita Terkait