MK Putuskan Seluruh Partai Politik Harus Verifikasi Faktual
Berita

MK Putuskan Seluruh Partai Politik Harus Verifikasi Faktual

Perludem menilai MK tidak yakin dengan putusannya sendiri terkait pengujian norma ambang batas presiden. MK seolah-olah bukan sebagai penguji UU berdasarkan konstitusi, tetapi sebagai pengamat politik yang berbicara “presidensial rasa parlementer”. Lalu bicara penyederhanan parpol.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

Intinya, dalam permohonanya, para pemohon mengalami kerugian secara konstitusional dengan berlakunya Pasal 173 ayat (1) sepanjang frasa “telah ditetapkan”, Pasal 173 ayat (3) dan Pasal 222. Menurutnya, para pemohon khawatir berpotensi tidak lolos dalam verifikasi faktual baik verifikasi parpol maupun verifikasi calon presiden tahun 2019 oleh KPU. Para pemohon memohon meminta kepada Mahkamah agar pasal a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

 

Anggota Majelis MK Manahan Sitompul menuturkan MK pernah memutus perkara No. 52/PUU-X/2012. Menurut putusan ini, MK telah menyatakan verifikasi dilakukan kepada seluruh partai politik calon peserta Pemilu 2014. Tetapi, guna menghindari adanya perlakuan berbeda terhadap partai politik calon peserta pemilu 2019, maka norma UU Pemilu tidak boleh memuat norma yang pada pokoknya mengandung perlakuan berbeda terhadap calon peserta pemilu.

 

“Sebab, perlakuan berbeda bertentangan dengan hak atas kesempatan yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Pertimbangan ini relevan dan harus diberlakukan seluruh partai politik calon peserta pemilu 2019. Bahkan, tidak hanya pemilu 2019, melainkan untuk pemilu anggota DPR dan DPRD (legislative) dalam pemilu periode selanjutnya," kata dia saat membacakan pertimbangan putusan.

 

Bagi Mahkamah, perlakuan berbeda bukanlah sesuatu yang selalu dilarang atau bertentangan dengan UUD 1945. Namun, dalam ranah (konteks) kontestasi politik seperti pemilu, perlakuan berbeda sama sekali tidak dapat dibenarkan. Karena itu, Pasal 173 ayat (3) UU Pemilu juga bertentangan UUD 1945 khususnya frasa “tidak diverifikasi ulang” yang dimohonkan pemohon yang memberi pengecualian kepada kepada partai politik peserta pemilu 2014.

 

“Adanya perlakuan berbeda ini menjadi penyebab terjadinya ketidakadilan pemilu yang tidak memberi kesempatan yang sama dalam pemerintahan sesuai Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (3) UUD 1945,” dalihnya.

 

Hilangnya frasa tersebut mengakibatkan seluruh norma dalam Pasal 173 ayat (3) kehilangan relevansinya untuk dipertahankan. Maka, rumusan norma Pasal 173 ayat (3) menjadi sama dengan Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu. Mahkamah pun menghimbau agar Peraturan KPU terkait verifikasi parpol peserta pemilu harus mengatur secara lengkap mekanisme dan teknis pelaksanaan verifikasi faktual terhadap semua persyaratan yang diatur dalam Pasal 173 ayat (2) UU Pemilu.

 

“Verifikasi menyeluruh, KPU bisa memastikan tidak ada celah masalah yang bisa jadi persoalan di kemudian hari. Artinya, Peraturan KPU tidak hanya mengatur verifikasi faktual menyangkut jumlah dan susunan pengurus partai politik tingkat pusat, tingkat provinsi, domisili kantor tetap tingkat provinsi, jumlah dan susunan pengurus partai politik di tingkat kebupaten/kota, domisili kantor tetap tingkat kabupaten/kota. Tetapi juga menyertakan pengaturan verifikasi kepengurusan partai politik di semua tingkatan dari tingkat pusat, provinsi, tingkat kabupaten/kota, hingga kecamatan harus melalui verfikasi faktual yang metode dan mekanismenya diatur dalam Peraturan KPU,” lanjut Hakim I Dewa Gede Palguna. (Baca juga: PBB Resmi Gugat Aturan Ambang Batas Calon Presiden)

Tags:

Berita Terkait