MK Putuskan Seluruh Partai Politik Harus Verifikasi Faktual
Berita

MK Putuskan Seluruh Partai Politik Harus Verifikasi Faktual

Perludem menilai MK tidak yakin dengan putusannya sendiri terkait pengujian norma ambang batas presiden. MK seolah-olah bukan sebagai penguji UU berdasarkan konstitusi, tetapi sebagai pengamat politik yang berbicara “presidensial rasa parlementer”. Lalu bicara penyederhanan parpol.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

Sementara terkait pengujian Pasal 222 terkait ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden atau presidential threshold (PT). Anggota Majelis, Maria Farida menyebut MK tetap mengacu pada putusan sebelumnya yakni putusan No. No. 51-52-53/PUU-VI/2008 yang tetap relevan.

 

Mahkamah beralasan ambang batas pengusulan calon presiden dan wakil presiden sama sekali tidak dikaitkan dengan keberadaan norma UU yang mengatur tentang dipisahkannya penyeleggaraan pemilu legislative dan pilpres. Disatukannya keduanya justru mewujudkan sistem pemerintahan yang ideal, sehingga mencegah praktik ciri-ciri presidensial. (Baca juga: Alasan Pemerintah Soal Ambang Batas dan Verifikasi Parpol)

 

Tidak hanya itu, kata Maria, adanya ambang batas pencalonan presiden mencerminkan legitimasi sosio-politik representasi masyarakat yang berbhineka. Dan Pasal 222 UU Pemilu tidak bertentangan dengan UUD dan tidak bersifat diskriminasi. Sebab, disebut diskriminasi apabila melakukan pembedaan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik dll.

 

Dua Hakim Dissenting Opinion

Dua dari sembilan hakim konstitusi mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion) terkait Pasal 222 UU Pemilu ini yakni Saldi Isra dan Suhartoyo. Keduanya, menyoroti soal ambang batas yang memberi ketidakadilan pada partai politik (parpol) baru yang tak bisa mengajukan calon presiden-wakil presiden dan ada kerancuan sistem presidensial dan parlementer.

 

Suhartoyo menilai ketentuan PT 20 persen itu bertentangan dengan Pasal 22E, Pasal 27, dan 28 UUD 1945 yang semestinya menjamin hak yang sama kepada setiap partai politik peserta pemilu yang mengajukan capres dan cawapres. “Setiap parpol peserta pemilu semestinya memiliki hak untuk mengajukan atau mengusulkan pasangan capres-cawapres,” ujar hakim Suhartoyo.

 

Dia juga menganggap penggunaan hasil Pemilu Legislatif sebelumnya untuk menentukan ambang batas pencalonan Presiden dan Wapres akan merusak logika sistem presidensial. Sebab, dalam sistem presidensial mandat rakyat diberikan secara terpisah, masing-masing kepada legislatif dan eksekutif. Sementara, jika menggunakan hasil pemilu legislatif untuk menentukan ambang batas di eksekutif bentuk pemerintahan yang memiliki sistem parlementer. 

 

“Artinya, mempertahankan ambang batas dalam proses pengisian jabatan eksekutif jelas memaksakan logika dari sistem parlementer ke presidensial,” terang dia.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait