Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional sekaligus Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Paskah Suzetta pernah memaparkan, saat ini pemerintah mematok sekurang-kurangnya Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar 26 persen dari pendapatan dalam negeri.
Paskah pun mengingatkan, daerah seharusnya membatasi pembangunan dan pembelian gedung kantor, rumah dinas, atau tanah. Kualitas belanja daerah mesti ditingkatkan. Fokuslah pada infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan, ujarnya di depan Panggar pekan lalu.
Tahun | Belanja Daerah | Dana Alokasi Khusus |
2007 | Rp258,8 triliun | Rp17,1 triliun |
2008 (pagu indikator) | Rp267,3 triliun | Rp21,3 triliun |
Sumber: Bappenas
Bahkan, anggota Komisi II DPR Jazuli Juwaini menengarai, pemekaran daerah ini lantaran nafsu elit politik lokal. Mereka ingin menjadi penguasa baru, ungkap anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS), dalam sebuah diskusi, Rabu (30/5). Forum tersebut digelar oleh PKS, di Gedung DPR Ruang Nusantara I.
Namun, Jazuli paham keinginan pemekaran ini sulit dibendung lantaran dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Memang, UU tersebut mengatur pembentukan daerah otonom. Ada dua skenario pembentukan daerah otonom. Kalau bukan dari pemekaran, yah dari penggabungan dua atau lebih daerah.
Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) Eko Prasojo menilai pemekaran memang harus distop, setidaknya ditunda. Eko menyadari pemekaran tak bisa dibendung. Caranya memang mudah, lewat dua jalur. Kalau gagal di pintu Departemen Dalam Negeri (Depdagri), yah bisa usul melalui pintu parlemen, selorohnya.
Eko mengusulkan, untuk sementara, salah satu pintu masuk usungan aspirasi pemekaran perlu ditutup. Karena pemekaran berarti melahirkan pemerintah daerah (pemda) baru, setidaknya pintu DPR ditutup dulu. Biarlah Depdagri yang menentukan layak-tidaknya pemekaran sebuah daerah.