Merawat Negara Hukum dalam Pandemi
Kolom

Merawat Negara Hukum dalam Pandemi

Dalam menghadapi pandemi, komitmen kita pada prinsip-prinsip negara hukum sebenarnya sedang ikut pula diuji.

Bacaan 2 Menit

Presiden Jokowi akhirnya menetapkan kedaruratan kesehatan masyarakat Covid-19 (Keppres No.11/2020), dan mengatur tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam rangka percepatan penanganan Covid-19 (PP No.21/2020). Presiden kemudian mentapkan bencana non-alam penyebaran Covid-19 sebagai Bencana Nasional (Keppres No.12/2020). Sederetan produk hukum dan kebijakan telah dibuat di Indonesia dalam masa pandemi ini. Paling tidak tercatat ada 1 Perppu, 1 PP, 1 Perpres, 1 Inpres, 4 Keppres, 15 Permen, 19 Kepmen, dan puluhan surat keputusan dan edaran, yang khusus dibentuk dalam rangka merespon situasi pandemi Covid-19 ini.

Penting untuk kita ingat bersama, bahwa pembatasan dalam pandemi bukanlah tak berbatas. Hukum dan hak asasi manusia harus selalu menjadi panduan agar pembatasan tidak bablas menjadi pengekangan yang berlebihan, apalagi penyalahgunaan kekuasaan. Dalam menghadapi pandemi, komitmen kita pada prinsip-prinsip negara hukum sebenarnya sedang ikut pula diuji.

Merawat Kebebasan

Diskusi tentang pembatasan dan tarik menarik antara berbagai hak kebebasan, dengan ketertiban umum (public order), perlindungan kesehatan publik (public health), perlindungan hak dan kebebasan orang lain (protection of the rights and freedoms of others), keselamatan publik (public safety), atau keamanan nasional (national security), bukanlah suatu hal yang baru.

Disebabkan karena itu pula, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) baru-baru ini mengeluarkan suatu policy brief mengenai Covid-19 dan Hak Asasi Manusia yang menekankan bahwa: “… This is not a time to neglect human rights; it is a time when, more than ever, human rights are needed to navigate this crisis in a way that will allow us, as soon as possible, to focus again on achieving equitable sustainable development and sustaining peace”.

Pandemi jelas tidak bisa jadi alasan untuk meminggirkan prinsip-prinsip negara hukum dan hak asasi manusia. Menyikapi pokok-pokok pikiran dari kertas kebijakan PBB itu, publik perlu terus megawasi dan mengingatkan pengambil kebijakan di negaranya, agar tidak mengambil langkah yang justru merugikan hak asasi manusia dengan alasan pandemi.

Status kedaruratan yang ditetapkan oleh pemerintah saat ini adalah status kedaruratan kesehatan masyarakat, dan pilihan ini sudah tepat. Kita semua tentunya berharap status ini tidak berubah memburuk, melainkan segera membaik dan bisa segera dicabut. Tapi seberapapun kecil kemungkinannya, status ini tentu bisa berubah, sehingga bisa saja makin berdampak pada ruang kebebasan warga.

Dalam pidato tanggal 30 Maret 2020, Presiden Jokowi sempat sepintas menyebut soal kebijakan darurat sipil. Hal ini kemudian diklarifikasi oleh juru bicara Fadjroel Rachman bahwa pemerintah mempertimbangkan darurat sipil sebagai suatu pilihan langkah terakhir, yang bisa jadi tidak akan digunakan.

Tags:

Berita Terkait