Menyelami Frasa “Relasi Kuasa Dalam Kekerasan Seksual” Oleh: Riki Perdana Raya Waruwu*)
Kolom

Menyelami Frasa “Relasi Kuasa Dalam Kekerasan Seksual” Oleh: Riki Perdana Raya Waruwu*)

Relasi kuasa dalam kekerasan seksual merupakan unsur yang dipengaruhi oleh kekuasaan pelaku atas ketidakberdayaan korban.

Bacaan 2 Menit

 

Misalnya seorang mahasiswi yang kelulusan skripsi sangat tergantung pada kemudahan proses bimbingan oleh dosennya maka secara psikologis mahasiswi tidak berdaya atau menuruti keinginan dosen, termasuk perlakuan pelecehan seksual padahal perbuatan itu tidak dinginkannya. Walaupun dosen pembimbing melakukan kekerasan seksual tidak dengan paksaan, tidak dengan kekerasan, tidak dengan ancaman kekerasan, juga tidak dengan rangkaian kata-kata bohong sehingga relasi kuasa semacam ini tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan manapun dalam bab “tindak pidana kejahatan terhadap kesusilaan”. Contoh lainnya, kekerasan seksual terhadap karyawan, kekerasan seksual oleh pengasuh dan lain-lain.

 

Kelemahan sistem peradilan pidana ini, sebaiknya ditutupi dengan penyusunan peraturan perundang-undangan. Rancangan KUHP telah mengatur relasi kuasa di dalam Pasal 493 “Setiap orang yang memberi janji atau berjanji akan memberi hadiah menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan atau dengan penyesatan menggerakkan orang yang diketahui atau patut diduga belum berlumur 18 tahun dan belum kawin serta berkelakukan baik, untuk melakukan perbuatan cabul atau persetubuhan dengannya atau membiarkan terhadap dirinya dilakukan perbuatan cabul. Unsur menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan tersebut merupakan relasi kuasa parsial karena posisi pelaku memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki dari wibawa dalam relasi dengan korban sehingga terjadinya persetubuhan atau cabul namun unsur ini terbatas pada anak yang belum kawin.

 

Unsur relasi kuasa parsial lainnya yang berlaku terhadap korban dewasa terdapat dalam Pasal 494 ayat (3) Rancangan KUHP “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun : a. Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan bawahannya atau dengan orang yang dipercayakan atau diserahkan kepadanya untuk dijaga”. Artinya posisi pejabat, atasan, penerima titipan merupakan posisi yang secara hirarkis berada di atas sehingga korban tidak berdaya untuk menolak perbuatan seksual sedangkan terhadap siswa/wi diatur secara khusus pada Pasal 494 ayat (3) Rancangan KUHP huruf b.

 

Selain di dalam Rancangan KUHP, relasi kuasa parsial juga telah dirumuskan dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yakni pada delik “Eksploitasi Seksual” yang rumusan normanya sebagai berikut : “Setiap orang melakukan perbuatan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu daya, rangkaian kebohongan, nama identitas atau martabat palsu, atau penyalahgunaan kepercayaan, penyalahgunaan wewenang, memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan, ketergantungan seseorang, agar seseorang melakukan hubungan seksual dengannya atau orang lain dan memanfaatkan tubuh seseorang untuk memenuhi keinginan seksual diri sendiri atau orang lain, dengan maksud mendapat keuntungan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 12 tahun dan ditambah pidana tambahan restitusi.

 

Relasi Kuasa pada delik di atas dapat diketahui pada kata-kata “penyalahgunaan kepercayaan, penyalahgunaan wewenang, memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan, ketergantungan seseorang”. Rumusan norma ini membedah relasi kuasa yang muncul karena penyalahgunaan kepercayaan dan ketergantungan seseorang misalnya seseorang yang telah dititipkan pada orang lain oleh keluarganya dengan biaya hidup maupun seluruh kebutuhannya dibiaya oleh orang yang dititipkan maka psikologis orang yang dititipkan merasa tidak berdaya ketika padanya dilakukan pelecehan seksual karena rasa ketergantungannya.

 

Pembuktian mengenai keadaan korban menjadi sesuatu yang bersifat khusus namun mesti dilakuan secara objektif agar tidak mencederai rasa keadilan karena terdapat irisan antara hubungan seksual yang terjadi karena suka sama suka dengan yang terjadi karena relasi kuasa. Untuk mengatasinya, dapat pula disusun suatu kriteria yang bersifat objektif diantaranya relasi kuasa antara korban dan pelaku sangat strategis bagi kehidupan korban misalnya soal kebutuhan hidup/pendidikan, korban bersifat pasif ketika terjadi hubungan seksual yang menandakan hubungan itu tidak diinginkan oleh korban, adanya peluang korban untuk menghindar, korban mengalami beban psikis yang berat, pelaku semakin meningkatkan posisi rentan korban sehingga dalam posisi tersebut pelaku selalu memegang kendali atas korbannya dan lain sebagainya.

 

Penutup

Relasi kuasa dalam kekerasan seksual merupakan unsur yang dipengaruhi oleh kekuasaan pelaku atas ketidakberdayaan korban. Suatu keadaan yang mengharuskan kita menyesuaikan pengetahuan dan kekuasaan pelaku memanfaatkan relasi kuasa terhadap korbannya melalui mengesahan RKUHP maupun RUU PKS.  

Tags:

Berita Terkait