Menyelami Frasa “Relasi Kuasa Dalam Kekerasan Seksual” Oleh: Riki Perdana Raya Waruwu*)
Kolom

Menyelami Frasa “Relasi Kuasa Dalam Kekerasan Seksual” Oleh: Riki Perdana Raya Waruwu*)

Relasi kuasa dalam kekerasan seksual merupakan unsur yang dipengaruhi oleh kekuasaan pelaku atas ketidakberdayaan korban.

Bacaan 2 Menit

 

Istilah kekerasan seksual secara eksplisit tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan namun dalam ketentuan Pasal 1 Deklarasi Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan tahun 1993 menguraikan gambaran umum makna kekerasan terhadap perempuan, yakni setiap tindakan berdasarkan jenis kelamin (gender based violence) yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara  sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum ataupun dalam kehidupan pribadi.

 

Komariah Emong Sapardjaja dk, membagi bentuk kekerasan terhadap perempuan berdasarkan ketentuan Pasal 1 di atas dan Pasal 2 yakni kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikologis, kekerasan ekonomi dan perampasan kemerdekaan. Selanjutnya secara khusus akan diuraikan pengertian kekerasan seksual dan kekerasan psikologis untuk mengetahui unsur-unsur relasi kuasa saat terjadinya kekerasan seksual.

 

Kekerasan seksual menurut Komariah Emong Sapardjaja dk adalah tiap-tiap perbuatan yang mencakup pelecehan seksual sampai kepada memaksa seseorang untuk melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau di saat korban tidak menghendaki, atau melakukan hubungan seksual dengan cara-cara tidak wajar atau tidak disukai korban; dan atau menjauhkan (mengisolasi) dari kebutuhan seksualnya” sedangkan kekerasan seksual dalam UUPKDRT adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Rumusan pengertian kekerasan seksual dalam UUPKDRT terbatas pada terjadinya hubungan seksual sedangkan kekerasan seksual menurut Komariah Emong Sapardjaja dk meliputi pelecehan sampai pada hubungan seksual.

 

Kekerasan psikologis adalah setiap perbuatan dan ucapan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, dan rasa tidak berdaya pada seseorang.  Relasi kuasa dalam kekerasan seksual yang dimaksud dalam pembahasan ini merupakan gabungan kekerasan seksual dan kekerasan psikologis. Pandangan mengenai relasi kuasa yang menjadi rujukan terjadinya kekerasan seksual dan psikologis dibagi dua yakni 1). Relasi Kuasa Komulatif dengan unsur-unsur tindak pidana  lainnya dan 2). Relasi Kuasa Parsial.

 

Relasi kuasa komulatif merupakan relasi antara korban dan pelaku kekerasan seksual yang dipengaruhi oleh unsur-unsur lainnya dalam pasal tindak pidana sedangkan relasi kuasa parsial tidak dipengaruhi unsur-unsur lainnya namun sepenuhnya dipengaruhi oleh keadaan psikologis korban terhadap pelaku. UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) mengatur relasi kuasa antara pelaku dengan korban yang terjadi di dalam kehidupan rumah tangga dan penambahan unsur yang harus dibuktikan adalah “Pemaksaan Hubungan Seksual”. Perbuatan yang dilakukan dengan paksaan artinya ada upaya secara fisik atau psikis yang menyebabkan terjadinya hubungan seksual, sekalipun dilakukan oleh pasangannya yang sah menurut hukum sehingga masuk pada kategori relasi kuasa komulatif.

 

Relasi kuasa dalam KUHP terjadi antara pelaku dengan korban digabung dengan unsur kekerasan atau ancaman kekerasan” namun terdapat unsurnya lainnya dalam ketentuan Pasal 290 ayat (1) KUHP “Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang padahal diketahui bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya” maka dalam keadaan demikian tidak ada relasi kuasa antara pelaku dan korban karena kondisi pingsan atau tidak berdaya yang dimaksud merupakan keadaan fisik bukan psikis sehingga masuk pada kategori relasi kuasa komulatif.

 

Dalam UU Perlindungan Anak, unsur-unsur pidana yang dimiliki jauh lebih luas dibandingkan UUPKDRT dan KUHP yakni sebagaimana dimaksud Pasal 76E “Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul”. Unsur tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk termasuk relasi kuasa terhadap pengetahuan anak yang dilakukan secara aktif karena anak dalam posisi belum cakap untuk menentukan sikap terhadap upaya yang dilakukan pelaku sedangkan relasi kuasa parsial yang dimaksudkan tidak secara aktif dilakukan oleh pelaku kepada korban.

Tags:

Berita Terkait