Mentransformasi Sakit Hati Menjadi Perjuangan
Edisi Akhir Tahun 2011:

Mentransformasi Sakit Hati Menjadi Perjuangan

Sumarsih dianugerahi Yap Thiam Hien Award tahun 2004 karena dinilai menjadi figur yang berhasil mengatasi kesedihannya menjadi kesadaran akan nilai kemanusiaan.

Rfq
Bacaan 2 Menit

Bersama Aliansi Korban Kekerasan Negara (Akra), Sumarsih rajin memantau proses pembahasan Panitia Khusus (Pansus) DPR terkait insiden Semanggi I dan II serta insiden Trisakti. Episode akhir Pansus ternyata tidak sesuai harapan Sumarsih serta keluarga korban insiden Semanggi I, Semanggi II dan Trisakti. Mayoritas anggota Pansus menyatakan tidak terjadi pelanggaran HAM berat.

Sekira Juli 2001, kesimpulan Pansus DPR ditetapkan melalui Rapat Paripurna. Saat kesimpulan itu dibacakan oleh Ketua Pansus Panda Nababan, terjadi insiden ‘kecil’. Sumarsih yang mengaku sudah mendapat ‘bocoran’ hasil Pansus, menyiapkan tiga butir telur untuk dilempar. Niat Sumarsih terlaksana, dia sempat melemparkan telur tersebut sebelum akhirnya satuan pengamanan DPR mengamankannya. “Saya melempar tiga butir telur,” ujarnya mengenang.

Kesimpulan Pansus DPR ini menambah ruwet penyelesaian kasus Semanggi I, II dan Trisakti. Hal ini juga menjadikan hasil penyelidikan Komnas HAM bahwa ketiga kasus itu adalah pelanggaran HAM berat, menjadi sia-sia. Pasalnya, dengan berdalih merujuk pada kesimpulan Pansus DPR, Kejaksaan Agung menolak melanjutkan penyelidikan Komnas HAM serta memulai penyidikan. Makanya, berkas penyelidikan Komnas HAM dikembalikan oleh Kejaksaan Agung.

Meski kecewa terhadap kesimpulan Pansus DPR, Sumarsih terus berjuang. Untungnya, dia tidak sendiri. Sejumlah orang yang anggota keluarganya juga menjadi korban insiden Semanggi dan Trisakti serta insiden kekerasan lainnya juga memperjuangkan hal yang sama. Bersama janda (alm) Munir, Suciwati, Sumarsih lalu membentuk Jaringan Solidaritas Keluarga Korban (JSKK) Pelanggaran HAM.

Bersama JSKK, Sumarsih rutin menggelar aksi damai dengan menggunakan payung hitam di depan Istana Presiden sejak Januari 2007. Karena digelar setiap hari Kamis, aksi damai itupun disebut sebagai aksi ‘Kamisan’. Tidak hanya aksi damai, Sumarsih juga berulang kali mengirim surat ke Kepala Negara. “Dalam perkembangannya kita memberikan surat kepada presiden itu yang ke-206 yang kita kirim,” ujarnya.

Secara umum, perjuangan Sumarsih bersama para keluarga korban lainnya mengungkap kasus Semanggi I, II, dan Trisakti memang belum menuai hasil yang signifikan. Tetapi, Sumarsih bertekad akan terus berjuang. Dia bahkan siap berjuang untuk korban atau keluarga korban kasus pelanggaran HAM lainnya seperti kasus Lapindo atau kasus-kasus penggusuran paksa yang kerap terjadi. “Idealnya (perjuangan, red) sampai tidak terjadi pelanggaran HAM berat lagi,” ujarnya.

Perjuangan tak kenal lelah yang ditunjukkan Sumarsih bukannya tanpa apresiasi. Sumarsih sempat dianugerahi Yap Thiam Hien Award tahun 2004. Dalam acara penganugerahan yang digelar di Museum Nasional, Jakarta, Ketua Dewan Juri Asmara Nababan–kini almarhum- menilai Sumarsih layak menerima Yap Thiam Hien Award karena menjadi figur yang berhasil mengatasi kesedihannya menjadi kesadaran akan nilai kemanusiaan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait