Menteri Keuangan Tolak Revisi UU Keuangan Negara
Utama

Menteri Keuangan Tolak Revisi UU Keuangan Negara

Baik DPR maupun Sri Mulyani sama-sama berargumen di balik UUD 1945.

Ycb
Bacaan 2 Menit
Menteri Keuangan Tolak Revisi UU Keuangan Negara
Hukumonline

 

Pokok Materi Revisi UU Keuangan Negara

1.      Pengintegrasian lembaga tinggi negara dalam pengelolaan keuangan negara (Ketentuan Umum)

2.      Penambahan ruang lingkup keuangan negara (Pasal 2)

3.      Penegasan Presiden sebagai pemegang kekuasaan keuangan negara untuk urusan pemerintah (Pasal 10)

4.      Kewenangan lembaga tinggi negara dalam pengelolaan keuangan negara

5.      Otonomi pengelolaan keuangan di DPR (Pasal 10A-E)

6.      Pengelolaan keuangan di MA dan MK (Pasal 10F-H)

7.      Penyusunan standar akuntansi nasional (Pasal 32)

8.      Pemberlakuan secara terbatas UU Perbendaharaan Negara dalam pengelolaan keuangan di DPR, MA, dan MK

9.      Penyesuaian kekuasaan pengelolaan keuangan daerah

Sumber: Keterangan tertulis DPR

 

Senada seirama, DPD pun mengemukakan hal serupa. Namun, DPD tetap menyerahkan hak perencanaan anggaran (budgeting) ke tangan pemerintah dan pembahasannya bersama DPR. Cuma penggunaan dan pengelolaannya kemudian biarlah sesuai dengan kebutuhan kami, ujar Anthony Charles Sunarjo, Wakil Ketua Panitia Ad Hoc IV (PAH IV), seusai rapat.

 

Menurut Anthony, saat ini DPD tak banyak bisa bergerak lantaran ketatnya anggaran. Posnya sudah ditetapkan. Kami butuh pos tertentu, tapi dananya sedikit. Kami kurang perlu, malah duit pos itu melimpah.

 

Namun, hasrat dua kubu itu ditolak mentah-mentah oleh Sri Mulyani. Menurut penguasa Lapangan Banteng ini, UU No. 17/2003 sudah cukup mengakomodasi kewenangan tiap lembaga tinggi negara. Kami menghargai inisiatif DPR. Namun, kami merasa tidak perlu mengubah UU ini. Baik DPR, MA, dan MK kewenangan keuangannya sudah diwadahi dengan mendelegasikan kepada pemerintah.

 

Bahkan Sri Mulyani sama-sama menggunakan dalih UUD 1945. Keuangan negara tetap domain pemerintah. Jika UU ini direvisi, maka sama saja bertentangan dengan UUD 1945.

 

Anggota Komisi XI Ali Masykur Musa (Fraksi Kebangkitan Bangsa) menawarkan uji materi di depan MK. Ada dua pemahaman yang berbeda antara pemerintah dan DPR mengenai UU Keuangan Negara.

 

Sikap kedua kubu yang sama memegang konstitusi tertinggi namun melahirkan beda pemikiran ini jelas membentur jalan buntu. Karena itu, Awal mengambil langkah mundur. Tanggapan Bu Menteri dan masukan dari kawan DPD kita bawa dulu ke Badan Musyawarah (Bamus), ujar Awal menyimpulkan hasil rapat.

 

Potong Kompas?

Seusai rapat, kontan saja para penghuni Senayan tak puas. Sebenarnya revisi ini adalah agenda Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2007. Perubahan UU No. 17/2003 adalah salah satu dari 48 RUU luncuran (carry over) periode 2006 yang belum tuntas –di samping 30 usulan RUU baru pada 2007.

 

Menurut Ali, Prolegnas adalah kesepakatan antara DPR via Badan Legislasi (Baleg) dengan pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM. Artinya, agenda revisi UU Keuangan Negara sudah sejak awal disepakati oleh pemerintah sendiri, ujar Ali yang tak mampu menutupi raut kecewa.

 

Pada 2006 DPR rampung menyusun draft perombakannya. Bamus mengamanatkan Komisi XI membahasnya lebih lanjut dengan pemerintah. DPR lalu mengirimkan surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Surat tersebut diterima SBY tertanggal 5 Januari 2007.

 

Menanggapi ajakan tersebut, SBY membalas surat pada 1 Maret 2007. Isi surat tersebut, Presiden mendelegasikan Menkeu untuk membahas revisi ini bersama Komisi XI.

 

Isi suratnya kan untuk membahas, bukan untuk menolak. Kalau tidak mau mengubah UU ini, seharusnya sejak awal SBY mengirim surat penolakannya, ungkit Max Moein seusai rapat. Anggota dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini menduga langkah ini murni keinginan Sri Mulyani, bukan kehendak SBY.

 

Dradjad Harry Wibowo pun sepakat dengan Max. Anggota Fraksi Partai Amanat Nasional ini makin jengah dengan sikap Sri Mulyani. Ini kali kedua Bu Menteri menolak pembahasan RUU. Pertama, tentang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP).

 

Baik Dradjad, Max, Ali, maupun anggota lainnya khawatir preseden buruk ini akan merambat ke pembahasan RUU lainnya. Perselisihan beda pendapat ini akan berdampak ke depan. Bagaimana jadinya jika setiap UU produk DPR dan pemerintah dinilai melanggar UUD 1945? ujar Andi Rahman dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera.

 

Kalangan DPD lebih legowo. Biarlah teman-teman DPR yang menanggapi penolakan ini. Silakan kedua pihak membahasnya lebih lanjut, sambung Anthony. Anthony memang ada benarnya. DPD hingga kini belum memperoleh wewenang inisiatif membahas sebuah RUU.

 

Ada Celah

Jika dicermati, draft revisi ini pun mengandung celah mendasar. DPR hanya mengajukan kewenangan otonom bagi pemerintah, DPR, MA, dan MK. Dalam pandangan tertulisnya, pihak DPD perlu memasukkan lembaga perwakilan daerah ini. Selain itu, masih ada auditor independen Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), ungkap Anthony.

 

Anthony menambahkan, saat ini pemerintah sudah memiliki perangkat pengawas yang mapan. Tiap departemen memiliki inspektorat jenderal (itjen). Ada pula BPK dan BPKP. Bagaimana pengawasannya nanti pada DPR, DPD, BPK, MA, serta MK?

 

Bagi Anthony, perombakan UU ini memang perlu. Tapi, harus kita antisipasi konsekuensinya ke depan. Jika UU ini memang direvisi, kita juga perlu mengubah paket UU Perpajakan, UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU paket ekonomi lainnya.

 

Dradjad sendiri mengakui adanya bolong pada draft tersebut. Tapi, karena sudah disepakati dalam pembahasan intern DPR, saya harus ikut mengusungnya. Mungkin nanti dalam pembahasan selanjutnya usulan-usulan tersebut bisa kita wadahi.

Besar nian nyali Menteri Keuangan (Menkeu). Cukup seorang Sri Mulyani rupanya mampu menghadapi lebih dari 50 anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Rabu (23/5) malam itu komisi yang menangani perbankan, keuangan, dan anggaran negara ini mengundang pihak pemerintah membahas revisi Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Sri Mulyani menolak pembahasan perubahan UU tersebut. Kami sebagai wakil pemerintah merasa UU tersebut tak perlu direvisi.

 

Sri Mulyani didampingi Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa beserta jajarannya. Hadir pula rombongan parlemen dari kamar lain, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Panitia Ad Hoc IV (PAH IV) yang yang sama bidangnya dengan Komisi XI DPR.

 

Pada dasarnya, baik DPR maupun DPD, menghendaki adanya perombakan UU itu. Maklum, kalangan Senayan merasa kewenangan pengelolaan uang negara perlu disebar ke seluruh lembaga tinggi negara. Lembaga tersebut antara lain pemerintah (eksektif), DPR (legislatif), serta Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) (yudikatif). Artinya DPR ingin ketiga pilar negara itu punya otonomi masing-masing mengelola duit negara. Ini untuk menindaklanjuti hasil amandemen UUD 1945, ujar ketua sidang Awal Kusumah membacakan keterangan tertulis DPR.

 

Amanat amandemen peraturan perundangan tertinggi yang dimaksud Awal adalah Pasal 33 dan 31 serta 34. Pasal 33 substansinya menitkberakan pada pengakuan negara atas kekaaan sumberdaya alam. Di lain pihak, kita belum menyentuh Pasal 31 dan 34 yang intinya menuntut kewajiban negara untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat.

Halaman Selanjutnya:
Tags: