Menjernihkan Salah Kaprah atas Gagasan Hans Kelsen di Indonesia
Resensi

Menjernihkan Salah Kaprah atas Gagasan Hans Kelsen di Indonesia

Gagasan Kelsen harusnya tidak dijadikan sandaran teoritis hierarki norma yang biasa diajarkan di kampus-kampus hukum Indonesia.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 5 Menit
Menjernihkan Salah Kaprah atas Gagasan Hans Kelsen di Indonesia
Hukumonline

Sosok Hans Kelsen telanjur dikenal yuris Indonesia seperti sosok Rasul, Mesias, Almasih, atau Juru Selamat yang menyampaikan firman penyelamatan dari Tuhan. Sayangnya—seperti juga kerap dialami para Rasul utusan Tuhan sepanjang sejarah— “firman” yang disampaikan Kelsen dipahami menyimpang bahkan sengaja dipaksa menyimpang oleh para murid yang sesat pikiran. Kira-kira demikian ilustrasi untuk pesan besar dalam buku terbaru karya filsuf hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Fernando Manullang.

Hukumonline.com

Benar, buku berjudul Norma Hanyalah Makna, Grundnorm Malah Seperti Tuhan pada dasarnya adalah buku filsafat hukum. Objek yang difilsafati adalah gagasan Kelsen soal teori murni tentang hukum atau pure theory of law yang dalam bahasa asalnya reine rechtslehre. Penulis buku ini menggugat tiga pemahaman umum yuris Indonesia yaitu norma (1) norma adalah hal yang seharusnya, (2) norma harus dibersihkan dari unsur-unsur bukan hukum, dan (3) grundnorm di Indonesia adalah Pancasila (hlm. viii).

Baca juga:

Buku Internasional Pertama soal Hukum Pidana dari Mazhab Universitas Indonesia

Menguasai Inti Hukum Pidana dari Mazhab Universitas Indonesia

Buku ini terlihat menggunakan pendekatan sejarah pemikiran yang dipadukan dengan sejarah sosial. Semua uraiannya memang berpusat pada gagasan pure theory of law Kelsen, tapi pembaca diajak berkeliling melihat-lihat berbagai faktor pembentuknya. Pada akhirnya pembaca diajak pula melihat berbagai faktor yang membuat gagasan Kelsen salah kaprah dipahami oleh para yuris Indonesia.

“Saya mengajak Anda, para pembaca, untuk berdiri bersama-sama saya di suatu titik di antara paradigma filsuf dan yuris,” demikian kata Doktor Filsafat ini pada bab pembuka karyanya (hlm. 12). Fernando menegaskan sejak awal bahwa pemahaman atas gagasan Kelsen sebagai “hukum yang murni” atau “hukum yang dimurnikan” adalah pangkal kesesatan berpikir. Ini terlihat antara lain dari penerjemahan pure theory of law atau reine rechtslehre menjadi “teori hukum murni”. Fernando menilai yang tepat adalah “teori murni tentang hukum”.

“Dari sini sebenarnya kita bisa mengira-ngira bahwa Kelsen berbicara tentang teori murni, bukan teori hukum…ia menolak teorinya dicampuri dengan unsur asing. Teorinya mesti murni. Jadi ini, sekali lagi, bukan mengenai hukum,” kata pengampu bidang studi Dasar-Dasar Ilmu Hukum di Universitas Indonesia ini kembali menegaskan (hlm. 13).

Fernando menyadari sepenuhnya bahwa Kelsen adalah ahli hukum yang bukan filsuf. Hanya saja, ia sangat yakin pemahaman yuris Indonesia selama ini tentang gagasan Kelsen sudah menyimpang jauh. Salah kaprah itu berujung masalah-masalah yang sudah tidak disadari lagi saat merasa sedang merujuk Kelsen dalam berbagai kajian dan praktik hukum. Kritik tajamnya antara lain, “Ide Kelsen kerap digunakan untuk menganalisis hubungan antarnorma yang hirarkis. Kelihatannya tidak ada yang salah dengan hal itu. Namun, kalau kita renungkan lebih kritis lagi pemikiran Kelsen tentang norma, akan nampak cocoklogi(hlm. 128-129).

Apakah norma menurut teori murni Kelsen adalah hal yang seharusnya? Fernando membantahnya. Apakah Pancasila adalah grundnorm dalam konteks Indonesia berdasarkan teori murni Kelsen? Fernando juga membantahnya. Lantas apa sebenarnya norma dan grundnorm itu? Pakar filsafat hukum ini sudah menjawabnya dalam judul buku. Ya, kesimpulan ilmiah dalam pembacaan ulang Fernando terhadap gagasan Kelsen adalah norma hanyalah makna, grundnorm malah seperti Tuhan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait