Menjernihkan Salah Kaprah atas Gagasan Hans Kelsen di Indonesia
Resensi

Menjernihkan Salah Kaprah atas Gagasan Hans Kelsen di Indonesia

Gagasan Kelsen harusnya tidak dijadikan sandaran teoritis hierarki norma yang biasa diajarkan di kampus-kampus hukum Indonesia.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 5 Menit

Ada enam bab dalam buku ini dengan 160 halaman isi. Pembaca akan merasakan bagaimana penulis berusaha mengajak bernalar secara runtut. Bab 1 sebagai pembuka berjudul “Membaca Teori Murni Kelsen”. Ada 16 halaman uraian pengantar yang menguraikan sejarah sosial pemikiran Kelsen. Alih-alih menjejalkan konsep atau teori sejak awal, pembaca disuguhi kisah sejarah yang menjadi latar belakang berpengaruh terhadap teori murni Kelsen. Kisah sejarah ini tidak akan ditemukan dalam buku berbahasa Indonesia mana pun saat ini yang mengulas Kelsen. Penulis berhasil mengumpulkan informasi yang mungkin dianggap tidak relevan, tapi justru sebaliknya. Konstruksi sejarah sosial pemikiran Kelsen di bab ini akan membantu “Membaca Teori Murni Kelsen” dengan tepat.

Bab 2 berjudul “Membicarakan Norma Formal”. Arti, ciri, bentuk, dan renungan kritis tentang norma disajikan pada bagian ini. Bab ini ibarat pemanasan otak sebelum menelaah lebih jauh. Bab 3 berjudul “Norma Menurut Kelsen” adalah awal dari pembacaan kritis Fernando pada gagasan Kelsen. Soal norma adalah makna dalam gagasan Kelsen dijelaskan pada bab ini. Secara mengejutkan Fernando menarik gagasan Kelsen pada urusan bahasa. Premis yang diajukan adalah, “Ini karena pada hakekatnya, hukum adalah bahasa. Dengan kata lain, hukum secara pra-positif (sebelum disepakati, berlaku, dan mengikat) adalah bahasa!” (hlm. 46).

Bab 4 berjudul “Interpretasi Tanpa Metode” juga tidak kalah mengejutkan. Fernando menegaskan bahwa bahwa teori murni Kelsen teori penafsiran. Tentu saja ini berdampak serius berkaitan pemahaman yuris Indonesia selama ini. “Oleh karena itu, teorinya tidak bisa diterima sebagai teori yang berbicara hal yang Seharusnya. Dengan kata lain, teorinya bukan berbicara hal yang normatif, namun justru membicarakan makna-makna yang mesti ditafsirkan secara ilmiah,” demikian salah satu kesimpulan Fernando (hlm. 96).

Bab 5 berjudul “Grundnorm, Bukan Norma” menukik pada salah kaprah yuris Indonesia bahwa grundnorm dipahami sebagai sumber hukum apalagi berupa teks hukum. “Grundnorm adalah sesuatu yang tak dapat dijangkau secara linguistik oleh para pejabat hukum,” kata penulis buku ini (hlm. 119)

Bab 6 berjudul “Membaca Kembali Teori Murni Kelsen” memberi kesimpulan pembacaan Fernando, terutama dalam penggunaan teori murni Kelsen di Indonesia hingga sekarang. Bab terakhir ini menguraikan lebih jauh kalimat Fernando dalam penutup bab 5, “Ini karena ada hasrat yang kuat di antara para sarjana hukum Indonesia perihal Grundnorm ala Indonesia” (hlm. 120)

Bab penutup ini menyimpulkan sesat pikir yuris Indonesia sebagai akibat tidak meninjau kritis penafsiran para Profesor Hukum kenamaan Indonesia saat mengajarkan teori murni Kelsen. “Entah mengapa, para ahli hukum pada umumnya gemar menjadikan Pancasila sebagai menu of the day. Pancasila senantiasa dijadikan obyek kajian hukum. Padahal upaya tersebut sesungguhnya amat absurd,” kata Fernando yang mengajar di kelas Pengantar Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum (hlm. 144).

Saat sampai pada halaman akhir, pembaca mungkin butuh menenangkan diri sejenak. Isinya memang bukan hal yang lazim dipelajari selama ini di kampus hukum Indonesia tentang Kelsen. Sebagian pembaca mungkin juga merasa isi buku ini tidak berfungsi praktis bagi praktik berhukum. Tidak terlalu salah, karena sekali lagi ini adalah buku filsafat hukum. Namun, isi buku ini seharusnya ditindaklanjuti dengan tidak lagi membawa-bawa Kelsen dalam analisis hubungan antarnorma hierarkis yang seharusnya. Tidak benar jika gagasan Kelsen dipaksakan sebagai sandaran teoritis hierarki norma yang mengandaikan adanya yang seharusnya seperti diajarkan di kampus-kampus hukum Indonesia. Seperti kata Fernando, itu hanyalah cocoklogi.

Buku ini termasuk ringkas dengan struktur penulisan yang memudahkan pemahaman. Penulis menyediakan subjudul “Renungan Kritis” di tiap bab yang berisi kesimpulan. Daftar referensi bacaan juga disajikan di tiap akhir bab alih-alih di bagian akhir buku. Pembaca bisa menelusuri lebih spesifik literatur rujukan tiap bab. Catatan kaki yang digunakan juga proporsional.

Selain ini, penulis memberikan sisipan seperti belasan biografi ringkas tokoh ilmuwan hukum dunia yang menjadi rujukan analisis buku ini. Nama para tokoh itu sering muncul dalam buku teks hukum, tapi jarang yuris Indonesia mengetahui biografinya. Tersedia pula indeks yang membantu pembaca mencari ulang sejumlah kata kunci dalam buku.

Tags:

Berita Terkait