Mengurai Kewenangan Dewan Pengawas KPK
Kolom

Mengurai Kewenangan Dewan Pengawas KPK

Kewenangan Dewan Pengawas KPK dalam pemberian izin penyitaan, penggeledahan, dan penyadapan tidak sesuai dengan asas equality before the law. Sebagai lembaga yang masuk ranah eksekutif, konsekuensinya Dewas dapat menjadi salah satu pihak dalam praperadilan.

Bacaan 2 Menit

 

Begitu pula dengan penggeledahan. Merujuk Pasal 33 dan 34 KUHAP, penggeledahan dalam keadaan biasa dapat dilakukan oleh penyidik setelah lebih dulu meminta izin dari ketua pengadilan negeri. Sedangkan dalam keadaan luar biasa (mendesak), penyidik dapat melakukan penggeledahan tanpa lebih dulu mendapat surat izin dari ketua pengadilan negeri dengan ketentuan segera sesudah penggeledahan penyidik wajib meminta persetujuan ketua pengadilan negeri yang bersangkutan.

 

Sama halnya dengan tindakan penyadapan dilakukan setelah mengantongi izin tertulis dari pengadilan. Seperti dalam ketentuan Pasal 31 ayat (2) UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang  Penetapan Perpu No.1 Tahun 2002 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Terorisme. Kemudian, Pasal 31 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Pasal 77 ayat (2) UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

 

Melihat penjelasan di atas,  maka pengaturan penyitaan, penggeledahan dan penyadapan yang dilakukan KPK terlebih dahulu mengantongi izin dari Dewas. Pendek kata, legislatif dan pemerintah berkeinginan membuat lembaga baru dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia.

 

Nah, dalam kaitannya Dewas yang notabene diangkat dan diberhentikan Presiden dengan memiliki kewenangan pemberian izin. Yakni izin tindakan penyitaan, penggeledahan dan penyadapan yang dilakukan oleh penyidik KPK, menimbulkan pertanyaan. Apakah kewenangan Dewas tersebut bertentangan dengan asas Equality Before the Law?

 

Asas Equality Before the Law

Tindakan penggeledahan, penyitaan dan penyadapan merupakan suatu “an intrusion on somebody’s privacy”. Oleh karena itu, tindakan tersebut harus diatur dalam UU. Konstitusi ternyata mengatur dalam Pasal 28 J ayat (2) yang menyebutkan, Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

 

Sejatinya, pengaturan legalitas tindakan penyitaan, penggeledahan dan penyadapan beserta tatacaranya dalam undang-undang sebenarnya sudah sesuai dengan semangat konstitusi. Namun perbedaan pemberi otorisasi upaya paksa untuk penyidik KPK oleh Dewas dan untuk penyidik lainnya oleh Ketua Pengadilan Negeri merupakan pelanggaran atas prinsip equality before the law yang telah diatur dalam UUD 1945. Pasal 27 ayat (1) menyebutkan, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

 

Selain itu, Pasal 37B ayat (1) huruf b UU No. 19 Tahun 2019 mengatur otorisasi upaya paksa di luar Ketua Pengadilan Negeri, sebenarnya bertentangan dengan asas pembentukan undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Yakni asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; asas ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau asaskeseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Tags:

Berita Terkait