Mengurai 3 Masalah dalam RUU Penyiaran
Utama

Mengurai 3 Masalah dalam RUU Penyiaran

Meliputi pemberian kewenangan penanganan sengketa pers kepada KPI, hingga tidak memahami rezim etik dalam pers.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Anggota Dewan Pers, Yadi Hendriana dan Chief Content Officer KapanLagi Youniverse, Wenseslaus Manggut dalam acara diskusi bertajuk RUU Penyiaran: Langkah Mundur dalam Ekosistem Siber di Indonesia, Kamis (4/7/2024). Foto: HFW
Anggota Dewan Pers, Yadi Hendriana dan Chief Content Officer KapanLagi Youniverse, Wenseslaus Manggut dalam acara diskusi bertajuk RUU Penyiaran: Langkah Mundur dalam Ekosistem Siber di Indonesia, Kamis (4/7/2024). Foto: HFW

Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyiaran yang beredar di publik menuai protes keras dan kecaman dari organisasi profesi jurnalis, pegiat pers, dan kalangan masyarakat sipil lainnya. RUU Penyiaran memuat sejumlah ketentuan yang memberi kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengurusi soal jurnalistik yang selama ini menjadi ranah dewan pers, antara lain menangani sengketa pers.

Anggota Dewan Pers, Yadi Hendriana mencatat bukan kali ini saja kebebasan pers yang diraih sejak reformasi ingin dibungkam. Dia mencatat upaya itu dilakukan beberapa kali sejak tahun 2007 sampai sekarang. Terakhir melalui RUU Penyiaran, di mana ada sejumlah pasal bermasalah salah satunya melarang penayangan jurnalisme investigatif.

“RUU Penyiaran berpotensi memberangus kebebasan pers dan menghilangkan kewenangan Dewan Pers,” kata Yadi dalam diskusi bertema “Jakarta Digital Conference 2024 RUU Penyiaran: Langkah Mundur dalam Ekosistem Siber di Indonesia”, yang diselenggarakan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Jakarta, Kamis (4/7/2024). Acara ini digelar AMSI Jakarta dengan dukungan dari Bank BNI, PT PLN, Bank Mandiri, PT ASDP Indonesia Ferry, PT Angkasa Pura II, PT Angkasa Pura I (Angkasapura Airports), Eiger Indonesia dan Kino.

Yadi mengatakan, kalangan pers sejak 12 tahun lalu sudah mendorong UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran untuk direvisi. Berbagai masukan juga sudah disodorkan, tapi beleid itu tak kunjung dibenahi. Justru malah muncul RUU Penyiaran yang kontennya berbeda dengan usulan yang dulu sempat disampaikan.

Baca juga:

Sejumlah ketentuan yang urgen dibenahi dalam UU 32/2002 antara lain konten penyiaran banyak yang tidak berkualitas dan tidak berorientasi kepentingan publik. Keberpihakan kepada publik juga sangat minim. Konten yang berkualitas justru tingkat kepemirsaannya rendah. Ditambah lagi monopoli lembaga survei rating yang tidak berorientasi kualitas konten siaran, tapi pasar.

Selain itu regulator kurang berperan karena kewenangannya kurang memadai. Begitu juga dengan lemahnya lembaga pengawas. Menurut Yadi, KPI bisa mengatur standar penyiaran misal broadcaster, juru kamera, produser dan lainnya. Kalangan jurnalis lebih maju karena punya standar jurnalistik dalam menjalankan profesinya. Alih-alih membenahi berbagai urgensi itu justru sejumlah substansi RUU Penyiaran menyasar kebebasan pers.

Tags:

Berita Terkait