Menggagas Putusan Sela dalam Sengketa Pilkada
Berita

Menggagas Putusan Sela dalam Sengketa Pilkada

Putusan sela bisa berisikan perintah MK kepada KPU daerah untuk melaksanakan penghitungan maupun pemungutan suara ulang. Ada yang setuju, ada pula yang mengkritik gagasan itu.

CR-6/Ali/IHW
Bacaan 2 Menit
Menggagas Putusan Sela dalam Sengketa Pilkada
Hukumonline

 

Yoni A. Setyono, Ketua Lembaga Kajian dan Bantuan Hukum Universitas Indonesia menegaskan bahwa putusan sela dalam hukum acara perdata tak boleh menyinggung pokok perkara. Putusan sela hanya mengatur mengenai kompetensi absolut dan relatif pengadilan. Itu dalam hukum acara perdata lho. Jadi putusan sela sama sekali tak membolehkan hakim membahas pokok perkara, katanya lewat telepon, Senin (16/2).

 

Konsep putusan sela versi MK, kata Yoni, sudah memasuki wilayah materi perkara. Menurut saya putusan sela yang memerintahkan KPU untuk menghitung ulang suara sudah membicarakan pokok perkara. Saya tidak tahu kenapa MK berpendapat demikian? Mungkin karena MK merasa tidak tunduk dengan hukum privat, melainkan hukum publik.

 

Di sisi lain, hukum acara pidana sebagai hukum publik pun sebenarnya ‘mengharamkan' hakim memutus pokok perkara dalam putusan sela. Makanya kita sering mendengar hakim menolak eksepsi penasehat hukum terdakwa karena dinilai sudah memasuki pokok perkara. Itu artinya hukum publik juga tak mau membahas materi perkara dalam putusan sela, jelas Yoni.

 

Lebih jauh Yoni berharap agar MK menemukan landasan hukum yang tepat untuk membuat putusan sela. Agar tak menimbulkan masalah hukum ke depannya.

 

Jangan hanya pilkada

Irman juga menyarankan agar gagasan putusan sela ini tak hanya diterapkan dalam sengketa pilkada, tapi juga pada sengketa pemilu legislatif dan pemilu presiden. Alasannya agar MK konsisten dalam memahami pilkada yang telah masuk ke dalam rezim pemilu. Sehingga, hukum acaranya minimal harus mirip. Saya kira itu (gagasan putusan sela,-red) sudah tepat, bukan hanya untuk pilkada tetapi juga pemilu legislatif, tambahnya.

 

Mahfud buru-buru mengklarifikasi. Ia menegaskan gagasan ini hanya berlaku untuk sengketa pilkada. Sementara ini untuk pilkada. Karena kalau untuk pemilu legislatif dan presiden itu agenda ketatatanegaraannya ketat sehingga kita akan langsung memuat vonis yang final. Tidak vonis sela, katanya.

 

Meski begitu, Mahfud menegaskan para pelaku pemilu legislatif atau pilpres jangan main-main. Ia mengatakan meski tak diatur putusan sela, MK akan tegas menindak bila ada kecurangan. Jangan pikir pemilu legislatif atau pemilu presiden bisa curang karena tidak ada putusan sela, kita juga akan tegas kalau ada kecurangan langsung akan dikurangkan terhadap hasil itu, tegasnya.

 

Dalam sengketa pilkada, persoalan waktu juga bisa menjadi hambatan pemberlakuan putusan sela ini. Dalam hukum acara sengketa hasil pilkada yang sudah terlanjur diterbitkan MK, perkara-perkara sengketa pilkada harus diselesaikan paling lama 14 hari kerja.

 

Mahfud tentu saja paham dengan peraturan ini. Ia mencontohkan bila MK telah mengeluarkan putusan sela yang memerintahkan pemungutan suara ulang dalam persidangan yang memakan waktu 10 hari, maka batas waktu dianggap berhenti selama pelaksanaan putusan itu. Artinya, sisa waktu empat hari akan digunakan MK untuk meneliti apakah proses pengulangan itu sudah sesuai atau belum.

Dalam sejarah Mahkamah Konstitusi (MK), baru dua kali pengawal konstitusi itu menolak meregister permohonan perkara. Keduanya dilakukan dalam sengketa pilkada. Pertama, dalam sengketa pilkada Jawa Timur. Kedua, dalam sengketa pilkada Timor Tengah Selatan. Pada dua kasus itu, MK memerintahkan KPU daerah masing-masing untuk melakukan pemungutan suara ulang dan penghitungan suara ulang. Namun karena belum puas dengan hasil pengulangan, para pihak kembali mengajukan permohonan sengketa pilkada.

 

Alih-alih melakukan pemeriksaan, MK justru menolak meregister kedua permohonan yang baru saja diajukan oleh para pemohon. Alasannya, putusan pertama yang memerintahkan pemungutan dan penghitungan suara ulang dalam kedua pilkada itu telah bersifat final dan mengikat. Kalau ada sidang lagi, nanti seperti PK (Peninjauan Kembali, red) dong. Nilai finalnya dimana? tutur Panitera MK Zainal Arifin Hoesein usai penolakan meregister permohonan pilkada Jatim kedua.

 

Saat itu MK memang seakan menutup mata apakah pemungutan dan penghitungan suara ulang yang dilakukan KPU di daerah bebas dari pelanggaran yang dijamin konstitusi. Hal ini sepertinya mulai disadari oleh Ketua MK Mahfud MD. Hukum acara sengketa pilkada yang  mengatur putusan MK harus bersifat final dan mengikat tampaknya menjadi salah satu ganjalan.

 

Gagasan mengatur putusan sela dalam sengketa pilkada pun dutarakan Mahfud. Misalnya begini, ketika MK memerintahkan pemungutan suara ulang, itu masuk putusan sela, ujarnya. Jadi, bila nanti ada pihak yang mempersalahkan hasil pemungutan ulang itu, maka MK masih bisa memeriksa permohonan tersebut. Kalau sudah benar baru divonis (final dan mengikat,-red), kalau tidak benar ya disuruh ulang lagi misalnya.   

 

Berdasarkan catatan hukumonline, hukum acara MK sebenarnya telah menerapkan penetapan yang sifatnya seperti putusan sela, tetapi hanya untuk perkara SKLN. Misalnya, ketika Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengajukan perkara SKLN terkait Keppres No. 185/M Tahun 2004 tentang Pemberhentian Anggota BPK 1999-2004 dan Pengangkatan Anggota BPK 2005-2009. MK mengeluarkan penetapan yang memerintahkan penghentian sementara kewenangan yang dipersengketakan antara DPD dan DPR.

 

Pengamat Hukum Tata Negara Irman Putra Siddin menyambut baik gagasan ini. Saya kira sudah tepat supaya tidak menimbulkan komplikasi seperti kasus Jawa Timur itu, katanya kepada hukumonline.

Halaman Selanjutnya:
Tags: