Menggagas Constitutional Complaint Lewat Kasus Ahmadiyah
Fokus

Menggagas Constitutional Complaint Lewat Kasus Ahmadiyah

Pro kontra mengenai apakah SKB pelarangan Ahmadiyah bertentangan atau tidak dengan konstitusi sebenarnya bisa terjawab bila ada mekanisme constitutional complaint. Sayangnya, MK belum memiliki kewenangan tersebut.

Ali/Rzk
Bacaan 2 Menit

 

Di antaranya adalah amandemen UUD 1945 karena kewenangan MK hanya terbatas pada lima kewenangan dalam Pasal 24C ayat (1) dan (2) saja. Norma pasal ini pun bersifat tertutup. Lain hal, kalau normanya bersifat terbuka seperti yang dimiliki Mahkamah Agung. Anak kalimat  '....dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang, dalam Pasal 24A UUD 1945, berarti memungkinkan penambahan kewenangan MA tanpa perlu mengubah UUD 1945.

 

Selain itu, lanjut Jimly, constitutional complaint bisa membuat MK berbenturan dengan pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM). Bila seseorang merasa dilanggar HAM maka orang tersebut bisa mengajukan constitutional complaint ke MK atau pengadilan HAM. Hal ini tak boleh terjadi. Satu kasus bisa dibawa ke dua pengadilan berbeda, ke MK dan pengadilan HAM. Analoginya, seperti kasus korupsi yang bisa diadili di pengadilan umum dan pengadilan tindak pidana korupsi. Dalam putusannya, MK sudah menyatakan dualisme seperti ini menabrak asas kepastian hukum.

 

Sementara itu, dalam benak Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan constutional complaint bisa saja dilakukan bila hakim konstitusi menafsirkan secara dinamis dan meluas terkait hak konstitusional pemohon dan legal standing (kedudukan hukum) pemohon yang diatur dalam Pasal 51 UU MK. Namun sebagai catatan bahwa perkara semacam ini (constitutional complaint,-red) telah menimbulkan beban berat bagi MK Jerman sehingga untuk membatasi perkara semacam itu masuk disyaratkan bahwa semua upaya hukum telah terlebih dahulu ditempuh, tulis Maruarar dalam bukunya yang berjudul 'Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia'.

 

PTUN atau ke MA

Jimly juga belum bisa memberi saran terkait langkah hukum khusus untuk SKB bila nanti jadi diterbitkan. Kita harus lihat isi SKB itu dulu, ujarnya. Memang banyak langkah hukum yang bisa ditempuh, seperti membawa SKB itu ke pengadilan tata usaha negara (PTUN) atau menguji ke MA. Namun, kedua langkah itu memiliki kajian berbeda.

 

Bila dilihat dari bentuknya, SKB merupakan ketetapan atau beschiking. Sifat dan isinya, seharusnya individual-konkret. Kalau memang sesuai antara bentuk dan isinya nanti, maka forum untuk mengujinya adalah PTUN. Namun, belum tentu antara bentuk dan isi akan sesuai. Bagaimana bila isinya berupa pengaturan? tanya Jimly. 

 

Bila seperti itu memang akan sulit memilih forum untuk mengujinya. Berbeda dengan ketetapan, sifat dari sebuah peraturan adalah umum-abstrak. Forum penyelesaiannya, bisa menguji peraturan itu ke MA dengan dipertentangkan dengan undang-undang. Namun, Uniknya, bentuk SKB tak dikenal sebagai peraturan perundang-undangan menurut UU No 10 Tahun 2004 yang berbicara mengenai hierarki peraturan perundang-undangan.

 

Dosen Ilmu Perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Sonny Maulana Sikumbang berpendapat kedudukan SKB setara dengan Peraturan Menteri. Ia pun mengutip ketentuan Pasal 7 ayat (4) yang mengatur peraturan menteri secara implisit.

Halaman Selanjutnya:
Tags: