Menata Regulasi: Antara Ego Sektoral dan Tumpang Tindih Peraturan
Rapor Hukum Jokowi-JK

Menata Regulasi: Antara Ego Sektoral dan Tumpang Tindih Peraturan

Selama masa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, penataan regulasi digenjot. Kebijakan deregulasi dijalankan untuk memperlancar izin usaha. Terhalang persoalan kewenangan.

Fitri N Heriani
Bacaan 2 Menit

 

Permenkumham

Bivitri sempat menyebutkan, bahwa ‘ego sektoral’ menjadi salah satu problem tumpang tindihnya regulasi. Pemerintah pun tampaknya menyadari persoalan tersebut. Pemerintah merespons dengan menerbitkan Permenkumham No. 23 Tahun 2018 tentang Pengharmonisasian Rancangan Peraturan Menteri, Rancangan Peraturan Lembaga Pemerintah NonKementerian, atau Rancangan Peraturan Dari Lembaga Nonstruktural Oleh Perancang Peraturan Perundang-undangan. Permenkumham ini baru dinyatakan berlaku pada 23 September 2018.

 

Secara garis besar, beleid ini berupaya mengatur produk hukum setingkat Permen, Peraturan Lembaga NonKementerian, dan Peraturan Lembaga NonStruktural dimulai dari rancangan peraturan. Artinya, Kemkumham memiliki ‘kewenangan baru’ untuk mengatur proses pembuatan sebuah regulasi sejak awal, yakni dalam tahap rancangan.

 

Permenkumham ini pada dasarnya mengatur bahwa kementerian yang memprakarsai sebuah regulasi harus mengajukan permohonan ke Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan. Dirjen PP akan melaporkan permohonan kepada Perancang disertai dengan  naskah urgensi atau gambaran umum arah pengaturan dan ruang lingkup materi muatan, dan rancangan Peraturan Menteri, Rancangan Peraturan Lembaga Pemerintah Nonkementerian, atau Rancangan Peraturan dari Lembaga Nonstruktural.

 

Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas, Charles Simabura mengatakan, kehadiran Permenkumham No. 23 Tahun 2018 berpotensi memunculkan persoalan baru. Pemerintah memang berniat baik agar tidak ada regulasi yang saling tumpang tindih di kemudian hari. Tetapi beleid ini bisa menyeret Kementerian melampaui kewenangan dalam proses legislasi sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP).

 

Menurut Charles, Kemenkumham tidak memiliki kewenangan untuk mengharmonisasi peraturan setingkat menteri (Peraturan Menteri). Pasal Pasal 54 ayat (2) UU PPP menyebutkan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Bunyi pasal tersebut ditujukan untuk Peraturan Pemerintah (PP). “Kemenkumham cuma berwenang di Peraturan Pemerintah (PP),” kata Charles kepda hukumonline, Kamis (6/9).

 

Charles juga menyoroti nomenklatur kata ‘harmonisasi’ dan ‘sinkronisasi’. Jika ditelusuri di peraturan perundang-undangan, nomenklatur harmonisasi dan sinkronisasi yang menjadi kewenangan Kemkumham tidak jelas. Ia menilai, wewenang klarifikasi dan harmonisasi Kementerian Hukum dan HAM berada pada mekanisme pengundangan.

 

“Yang dipertanyakan adalah apa kewenangan Kemkumham melakukan harmonisasi. Karena kalau dibaca UU No. 12 Tahun 2011, itu kewenangannya lebih ke pengundangan. Jadi Kemenkumham diberi kewenangan untuk mengatur perundangan,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait